separate
logo

Dec 15, 2008

meidy

Singkawang, "China Town" di Bumi Borneo

 7833_100446913309590_6154184_n

         Singkawang sering disebut sebagai kota seribu klenteng. Kota yang berada di Kalimantan Barat ini mempunyai ikatan yang erat dengan China, baik dari sejarah maupun budaya maupun kehidupan bermasyarakat. Tak heran jika Singkawang disebut-sebut mewakili "Chian Town" yang ada di bumi nusantara.
Di tanah seluas 50.000 ha ini, total populasi penduduk di Singkawang lebih dari 190.000 jiwa, separuhnya beretnis Tionghoa dan berdiri kokoh sedikitnya 600 klenteng. Konon, pada abad 18, kota tersebut merupakan tempat transit para penambang emas yang berasal dari Tiongkok. Gelombang migrasi besar-besaran pada tahun 1760, membawa masyarakat suku Tionghoa Hakka dari Guangdong China selatan yang mendarat di Pulau Kalimantan. Daerah tempat persinggahan ini kerap disebut sebagai "San Kew Jong" yang lama kelamaan berubah bunyi menjadi Singkawang.
Para pekerja tambang ini berasumsi, dari sisi geografis bahwa Singkawang yang berbatasan langsung dengan laut Natuna serta terdapat pengunungan dan sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai menuju ke muara laut. Melihat perkembangan Singkawang yang dinilai oleh mereka yang cukup menjanjikan, sebagian besar penambang tersebut beralih profesi ada yang menjadi petani dan pedagang di kota tersebut. Tak sedikit para penambang tersebut yang akhirnya tinggal dan menetap di Singkawang.

Adat Leluhur

         Meski secara fisik maupun budaya ada yang berasimilasi dengan penduduk pribumi, mereka juga tetap mempertahankan adat istiadat leluhur yang dipertahankan hingga kini. Karena pada umumnya mereka penganut Kong Hu Cu dan Buddha maka perayaan Tahun Baru China menjadi tradisi istimewa yang senantiasa mereka rayakan.
Saat perayaan Tahun Baru Cina dan Cap Gomeh berlangsung, Singkawang yang juga kaya potensi wisata alamnya ini menjadi kota yang paling ramai untuk merayakannya. Banyak kegiatan-kegiatan atraktif dilaksanakan dalam acara ini mulai dari pertunjukan barongsai, pawai tatung, bakar kapal/perahu naga, pertunjukan seni tari dan sebagainya. Tidak heran, saat suasana Imlek biasanya kota mungil itu mampu menyedot wisatawan dari manca negara.
Seperti halnya tradisi etnis Tionghoa di Semarang, bagi warga peranakan di Singkawang perayaan Imlek selalu dirayakan selama 15 hari berturut-turut dan hari puncak ke-15 disebut dengan Cap Go Meh. Dalam tradisi Tionghoa berarti malam ke-15 yang merupakan puncak perayaan Imlek dan Cap Go Meh dirayakan secara khusus. Jika ditelaah kembali, Cap Go Meh di Indonesia sendiri merupakan perpaduan budaya Tiongkok dan Indonesia, yakni adanya lontong Cap Go Meh. Lontong adalah makanan asli Indonesia, sedangkan Cap Go Meh adalah tradisi yang lahir dari Imlek.

Sep 13, 2008

meidy

Melacak Sejarah (Tionghoa) Singkawang

 

Singkawang yang disebut sebagai kota seribu kuil, Hongkongnya Indonesia ataupun yang lebih nyentrik lagi diistilahkan sebagai kota amoy, menawarkan sensasi oriental di setiap sudut kotanya. Kentalnya nuansa oriental ini tercermin dari mayoritas penduduknya yang beretnis Tionghoa (Khek/Hakka) dan dalam keseharian bahasa Khek menjadi lingua franca diantara penduduknya, dan tidak sedikit kelompok etnis lain (pribumi) juga menggunakannya.


Suku bangsa – subetnis – Khek/Hakka ini oleh Skinner (1979: 6) disebut sebagai salah satu golongan bahasa (speech group) dari tiga golongan bahasa Tionghoa terbesar yang ada di Indonesia (Hokkian, Hakka, Kanton), merupakan salah satu pemilik “asli” Singkawang. Kepemilikan atas Singkawang ini tidak lepas dari sejarah kedatangan orang Khek itu sendiri di Kalimantan (Borneo).

Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara – salah satunya ke Borneo – bisa dilihat dari empat pola migrasi sebagaimana disebutkan oleh Gung Wu (2000: 4-10), yaitu pertama, perdagangan (huashang) yang terdiri dari para saudagar, para pekerja seperti penambang dan pekerja-pekerja terampil yang pergi ke luar negeri dan termasuk juga anggota keluarga mereka sendiri yang bekerja untuk mereka dan kemudian membentuk basis di pelabuhan, penambangan dan di kota-kota perdagangan.

Kedua, menjadi kuli (coolie atau Huagong) merupakan migrasi sejumlah besar para pekerja kuli yang biasanya terdiri dari para petani, pekerja yang tidak mempunyai tanah dan para penduduk urban yang miskin.

Ketiga, perantauan (Huaqiao) berarti para perantau yang bukan termasuk golongan pedagang dan kuli melainkan para guru, jurnalis, dan golongan-golongan profesional yang pergi ke luar Cina untuk meningkatkan kesadaran akan kebesaran budaya Cina dan untuk tujuan nasionalisme.

Dan pola keempat adalah re-migrasi orang-orang Cina atau keturunanya dari negara yang sudah didiami ke negara-negara lain (Huayi). Apabila mengacu pada empat pola tersebut, maka awal keberadaan orang-orang Khek di Borneo setidaknya mewakili pola huagong menjadi kuli (coolie) di berbagai pertambangan emas dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas. Selama gelombang perpindahan yang besar dari tahun 1850 sampai 1930, orang-orang Hakka (Khek) merupakan imigran yang paling melarat dari Tiongkok. Sampai sekarang orang Hakka paling banyak diantara orang Tionghoa di bekas disrik tambang emas di Kalimantan Barat (Skinner, 1981: 7).

Hubungan antara China dengan Kalimantan (Borneo) sudah ada sejak abad ke 9 M (Purwanto, 2005: 40). Sedang kedatangan orang-orang Tionghoa ke Kalimantan Barat (Borneo Barat) terjadi pada abad ke 13-14 M (Sikwan&Harni, 2004: 19). Orang-orang Khek ini yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan dan kemajuan Borneo sejak kedatangannya. Disebutkan bahwa ketika kedatangan orang-orang Tionghoa ini, kehidupan masyarakat di Borneo sangat sederhana, karena itu oleh Abdul Rachman I kelompok Tionghoa ini bersama dengan Melayu dan Bugis diminta untuk membangun dan mengembangkan sebuah kota (Setiono, 2008: 191). Tidak dijelaskan secara spesifik dalam tulisan tersebut nama kota yang “diberikan” oleh Penguasa saat itu kepada tiga kelompok etnik di atas.
Menapaktilas Jejak “Republik Lanfang”


Menilik dari berbagai catatan mengenai seorang tokoh berpengaruh yaitu Lo Fong (Pak) yang mana disebut sebagai founding father sebuah Kongsi (Kung sie) terkenal Lanfong, Singkawang sedikit banyak berusaha dikaitkan dengan kongsi Lanfong tersebut. Namun sebenarnya, belum terdapat bukti historis yang objektif mengenai hubungan antara “Republik Lanfong” Lo Fong (Pak) dengan keberadaan Singkawang. Sebut saja tulisan dari Lie Sau Fat (2008: 3) yang menggambarkan heroisme seorang Lo Fong (Pak) ketika pertama kali menginjakkan kakinya di tanah harapan (Kalbar/west Borneo) dengan memimpin sekitar lebih dari seratus laki-laki untuk mengadu nasib dengan mencari pertambangan emas. Akhirnya diceritakan kalau Lo Fong (Pak) dan “pasukannya” menemukan tambang emas di Mandor dan kemudian membentuk Lan Fong Kung Sie.

Tulisan Lie Sau Fat tersebut tampaknya mengenyampingkan fakta historis mengenai awal kedatangan orang-orang etnis Tionghoa di Borneo sebagai kelompok kuli kontrak yang dipekerjakan di beberapa daerah pertambangan emas seperti Larah dan Montrado oleh Sultan Sambas Umar Akamuddin (Sikwan&Triastuti, 2004: 19). Saat kedatangannya, Lo Fong (Pak) bersama orang-orang Tionghoa lainnya menjadi pekerja tambang emas, dan selanjutnya membangun “dinastinya” di Mandor.


Sikwan dan Triastuti (2004: 21) menyebut bahwa bertambahnya konsentrasi orang-orang Tionghoa di Singkawang tidak terlepas dari pemberontakan yang dilakukannya terhadap Kesultanan Sambas pada tahun 1760. Setelah konflik tersebut orang-orang Tionghoa yang ada di berbagai daerah pedalaman Kalbar (Kesultanan Sambas) “diusir” ke Singkawang. Hal ini mengindikasikan kalau keberadaan Singkawang sudah ada jauh sebelum terbentuknya Kongsi Lanfong, yang didirikan oleh Lo Fong (Pak) tidak lama setelah mendarat di Borneo pada tahun 1772. Pendirian Kongsi Lanfong ini tidak jarang menggunakan jalan kekerasan untuk menaklukkan kongsi-kongsi lain sehingga bernaung di bawahnya.

Secara khusus dalam salah satu bab dari bukunya yang super tebal, Setiono (2008) menyebut Kongsi Lanfong layaknya sebuah “Republik” yang mengakamodasikan kepentingan dari anggota-anggotanya yang ada di Borneo. Kepengurusannya berdasar atas kaidah-kaidah demokrasi, dengan mengutamakan mufakat dan pemilihan langsung dalam penentuan pemimpin dan kepengurusannya. Wilayah Mandor setelah ditaklukkan oleh Lo Fong (Pak), dijadikan sebagai “pusat” dari Republik Lanfong yang dipimpinnya. Republik Lanfong berdiri secara resmi pada tahun 1777.

Selama diperintah oleh (Tai Ko) Lo Fong – Tai Ko adalah sebutan untuk jabatan tertinggi dalam Republik Lanfong yang berarti Kakak Tertua – kekuasaan Republik Lanfong ini meliputi Pontianak, Mempawah dan Landak (Lontaan, 1975: 250).


Bagaimana dengan Singkawang? Di dalam kekuasaan Republik apakah Singkawang? Lontaan (1975: 251) hanya sedikit menyebut bahwa setelah kematian Lo Fong (Pak) pada tahun 1795, terjadi perang antara Taikong Kongsi yang beribukota di Montrado dengan Sam Tiu Kiu Kongsi yang beribukota di Sambas. Adapun sebab dari pertempuran tersebut adalah karena Kongsi Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di wilayah Sei Raya (Singkawang) yang mana merupakan masuk wilayah kekuasaan Taikong Kongsi Montrado. Dari penuturan tersebut jelas kalau dulunya Singkawang masuk dalam wilayah kekuasaan Republik Taikong yang berpusat di Montrado. Montrado ini lahir dan berkembang jauh lebih dulu daripada Singkawang, apalagi setelah berdirinya Kongsi Taikong (Republik Taikong) tersebut pada tahun 1745.

Menyitir dari Liu (2008: 84), tidak salah apabila kemudian orang-orang menyebut bahwa “sebelum ada Singkawang, sudah ada Montrado”.
Singkawang – San Kew Jong – memang sampai sekarang susah dilacak kapan tahun persisnya berdiri. Apabila berdasar atas fakta sejarah terbentuknya kongsi-kongsi awal di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas – salah satunya Kongsi Taikong Montrado yang berdiri tahun 1745 – maka bisa dipastikan kalau Singkawang sudah ada sejak pertengahan abad ke 18. Sebagaimana diakui oleh salah seorang Budayawan senior Singkawang (M.J. Mooridjan) dalam sebuah obrolan sore pada hari Rabu, 3 September 2008 yang lalu, beliau menyatakan bahwa Singkawang dulunya sudah pasti sebuah daerah hinterland, daerah yang berada di luar pusat kekuasaan (Sambas dan Montrado).

Namun, meskipun demikian Singkawang ini menjadi salah satu tujuan (transit) dari orang-orang Tionghoa yang menjadi buruh dan kuli pertambangan emas dalam kuasa Kesultanan Sambas. Lambat laun Singkawang ini semakin tumbuh dan berkembang yang tentu saja salah satunya karena peran dominan dari orang-orang Tionghoa.


Tulisan ini dimuat di Pontianak Post, tanggal 9-10 September 2008.
 
Referensi :

Gung Wu, Wang. 2000. China and The Chinese Overseas. Singapore: Eastern University Press.
Liu, Wu. 2008. Bahasa Hakka di Singkawang. Jakarta: Buletin Permasis Tahun ke 2 Maret-April
Lontaan, J. U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumi Restu.
Purwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu.
Setiono, Benny G. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Transmedia.
Sikwan, Agus & Triastuti, Maria Rosarie Harni. 2004. Tragedi Perdagangan Amoy Singkawang. Yogyakarta: PSKK UGM – Ford Foundation.
Skinner, William G. 1981. Golongan Minoritas Tionghoa. Dalam Mely G. Tan (ed.). Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia.

Jun 10, 2008

meidy

Perbedaan Dasar Hakka-nyin dan Hokkian-lang

Pernah eggak kita bertanya seperti ini, “ Apasih bedanya Orang Hakka dengan orang Hokkian??? padahal sama-sama orang Tiongkok??? jelas beda!!!

Perbedaan mendasar antara orang Hakka dan Hokkian adalah dari segi bahasa. Bahasa orang Hokkian adalah Minnanhua [Banlam'ue] sedangkan bahasa orang Hakka adalah Kejiahua [Hakkafa]. Kedua bahasa ini berbeda cukup jauh, sehingga orang Hakka kurang bisa mengerti pembicaraan bahasa Hokkian, dan sebaliknya.

Mayoritas orang Hakka berasal dari propinsi Guangdong [Hakka: Kuongtung, Hokkian: Kngtang], dengan daerah yang dianggap 'pusat' orang Hakka di kabupaten Meixian (sekarang kota Meizhou) di Guangdong Timur Laut. Sedangkan orang Hokkian berasal dari propinsi Fujian Tenggara [Hokkian: Hokkian, Hakka: Fukkian] di Quanzhou, Zhangzhou, dan Xiamen.

Di Pulau Jawa, orang Hokkian merantau terlebih dahulu, terutama di kota2 pesisir utara Pulau Jawa. Pada kelompok pertama orang Hokkian yang merantau ke Indonesia (umumnya lelaki, jarang wanita yang ikut merantau) terjadi kawin campur dengan wanita asli Indonesia, yang kemudian menghasilkan golongan Tionghoa Peranakan.

Orang Hakka yang terlebih dahulu merantau ke Indonesia, umumnya berada di Kalimantan Barat. Orang Hakka di Bangka dan Belitung didatangkan untuk bekerja di pertambangan timah.

Di Indonesia, secara keseluruhan orang Hokkian adalah yang terbesar, kemudian diikuti oleh orang Hakka. Populasi orang Hokkian banyak di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku. Sedangkan orang Hakka adalah Tionghoa terbanyak di Aceh, Bangka Belitung, Kalimantan Barat. Di Pulau Jawa orang Hakka cukup banyak di Jabar (walaupun tetap lebih banyak orang Hokkian), dan sedikit di Jateng dan Jatim.

Dialek Bahasa Hakka

Dialek standard bahasa Hakka adalah dialek Meixian (nama kabupaten di Guangdong), yang sekarang disebut Meizhou shi (kota Meizhou). Pembagian sub-dialek bahasa Hakka menurut Dr. Lau Chun-fat adalah (1) Jiaying , (2) Minxi-Gannan , (3) Yuemin dan (4) Yuezhong.

Dialek Bahasa Min

Dulu bahasa Hokkian/Min dibedakan menjadi Hokkian Utara (Hokciu, Hokchnia, Hinghua) dan Hokkian Selatan (Hokkian).

Sekarang bahasa Min dibedakan menjadi: (1) Mindong (Min Timur), di Fuzhou, Fuqing , (2) Minbei (Min Utara), (3) Minzhong (Min Tengah), di Yong'an, Sanming, Shaxian. (4) PuXian (Putian dan Xianyou), di Putian, Xianyou (catatan :  sebelumnya digabungkan sebagai Mindong , (5) Minnan (Min Selatan), mencakup wilayah Quanzhou, Zhangzhou, Xiamen (ketiganya di Fujian), Chaoshan (Chaozhou dan Shantou), Leizhou di Guangdong, dan Zhejiang selatan.

 

Mar 8, 2008

meidy

Orang Hakka Bukan Etnis di China

Orang Hakka bukanlah Etnis suku di China, tetapi merupakan bagian dari Etnis Suku Han. Mengenali orang Hakka yang telah banyak melahirkan pemimpin dunia. Sedikit cerita lain dari sub-sub suku di China yang berjumlah kurang lebih sebanyak 56 etnis suku di China .

Selain 56 etnis Suku di China, masih terdapat banyak Sub Suku lainnya di China. Salah satunya yang terkenal adalah Orang Hakka. Hakka mempunyai arti keluarga pendatang dimana hak = tamu/pendatang dan ka = keluarga.

Orang-orang Hakka dalam bahasa mandarin: 客家人Kèjiā ren, adalah Suku Han China yang berbicara dalam bahasa Hakka, tersebar di provinsi GuangZhou, JiangXi, Fujian. Provinsi Fujian merupakan daerah pusat pembentukan orang Hakka, dan mendapat julukan sebagai Tanah Leluhur Orang Hakka.

Di Indonesia orang hakka banyak terdapat di Aceh, Bangka-Belitung, Jawa, serta Kalimantan Barat. Orang Hakka juga tersebar merata hampir di seluruh dunia.

Orang Hakka mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Ke. Bahasa Ke ini salah satu dari 7 bahasa daerah utama yang digunakan dalam bahasa suku China. Di Indonesia bahasa Ke ini dikenal sebagai Kejia atau bahasa Khek.

Dikenal sebagai orang-orang yang rajin dan ulet bekerja. Julukan ini kilas balik ke jaman dahulu. Orang Hakka hidup berpindah pindah, dari tanah yang satu ke tanah yang lain, oleh sebab itu mereka dinamakan keluarga pendatang, mereka membuka tanah di daerah yang berbukit, menjadikan daerah tersebut subur dan berkembang. Selain itu mereka adalah pedagang yang handal, jika ada pepatah mengatakan orang China adalah orang-orang yang rajin dan ulet, orang-orang Hakka ini dua kali lipat daripada orang-orang China kerajinan dan keuletannya, pantang menyerah. Tidak mengenal perbedaan gender, wanita dan lelaki Hakka sama sama harus bekerja.

Dunia mengenal pemimpin China Modern, Dr Sun Yat Sen. Bapak Republik China ini adalah orang Hakka, begitu juga Deng Xiaoping, salah satu pemimpin China yang membawa China membuka diri memasuki era kebebasan, sehingga China menjadi negara maju.

Siapa yang tidak mengenal Lee Kuan Yew, juga anaknya Lee Hsien Loong, Perdana Menteri Singapore saat ini, mereka adalah keturunan orang Hakka. Perdana menteri Thaksin Shinawatra adalah orang Hakka dari propinsi Chiang Mai,  Ex Gubernur Jendral Canada Adriane Clarkson adalah keluarga Hakka yang terkenal di Canada, keluarga Poy.

Actor Chow Yun Fat adalah orang Hakka, begitu juga Tjong A Fie, pengusaha terkenal dari Medan pada tahun 1900. Corazon Aquino juga keturunan orang Hakka, pengusaha Prayogo Pangestu dan Marie Pangestu.  Gus Dur dan Yusril Ihza Mahendra pernah menjadi penasehat orang-orang Hakka di Indonesia.

Mengapa orang-orang Hakka tersebar di seluruh dunia ?

Pada abad ke 19, terjadi pemberontakan Taiping di China. Pemimpin pemberontakan ini adalah orang Hakka yaitu Hong Xiuquan, pemberontakan ini hampir menjatuhkan Dinasti Qing. Setelah pemberontakan ini ditumpas oleh Pemerintah Qing, terjadi tekanan terhadap orang-orang Hakka. Tidak lama kemudian, terjadi lagi perang etnis yang mengakibatkan kematian berjuta orang dan paling berdarah di China. Pertentangan orang-orang Hakka dengan orang-orang di propinsi menjadikan banyak orang Hakka yang keluar dari daerah dan merantau ke seluruh dunia. Menjadikan populasi orang Hakka tersebar hampir di seluruh dunia.

Situasi dalam negeri China dengan banyaknya tekanan yang dialami orang-orang Hakka, mengakibatkan orang Hakka lebih mudah beradaptasi dengan kepahitan hidup. Mereka menjadi lebih progresif dan mempunyai pikiran yang lebih bebas, dan keinginan maju, menuntut perubahan dalam kehidupan. Pemikiran orang-orang Hakka yang tidak mempertahankan adat dan tradisi yang lama, banyak pelopor2 ide baru adalah orang-orang Hakka.

Di Indonesia, komunitas orang Hakka terbesar adalah Kalimantan Barat. Mereka mendarat di Kalimantan pada abad ke 19. Orang Hakka dari Propinsi GuangZhou mendirikan Republik LanFang yang berdiri selama 107 tahun, dan mempunyai 10 Presiden, hingga diambil alih oleh Belanda pada tahun 1884.

Populasi orang Hakka terbesar kedua adalah di pulau Bangka Belitung. Mereka mendarat pertama kali pada tahun 1700 dari Propinsi GuangZhou. Orang Hakka berbaur dengan penduduk melayu setempat, ada yang bekerja di pertambangan timah, dan ada juga yang membuka toko kelontong.

Tu Lou

Di China salah satu peninggalan orang Hakka yang sampai saat ini masih ada dan menjadi salah satu warisan utama dunia UNESCO adalah rumah orang Hakka.

Tu Lou mempunyai arti rumah tanah. Dibangun sejak abad ke 12, Tu Lou terletak di bagian barat daya Propinsi Fu Jian di selatan China. Mempunyai bentuk bulat, persegi panjang atau empat segi. Hanya mempunyai satu pintu masuk dan di lantai pertama tidak terdapat jendela, untuk menghindari masuknya perampok.

Untuk melindungi diri terhadap perampok dan binatang liar, mereka mengunakan tanah liat dan kayu, membangun tempat yang tinggi, bangunan bertingkat melingkar di mana seluruh keluarga atau klan bisa hidup bersama. Inilah rumah tanah yang kita lihat sekarang ini. Bangunan ini dianggap sebagai keajaiban oleh ribuan ahli, sarjana dan pengunjung yang telah terpesona oleh keindahan bangunan ini.

Rumah tanah ini adalah benteng untuk melindungi diri orang Hakka melawan musuh. Selain lorong-lorong aneh, rumah tanah ini memiliki fungsi pencegahan kebakaran, menjaga terhadap binatang liar dan memiliki ventilasi dan pencahayaan yang baik, selain itu tahan terhadap gempa bumi. Tu Lou ini mempunyai keistimewaan, hangat sewaktu musim dingin, dan dingin sewaktu musim panas.

Tu Lou terdiri dari bangunan yang dikelilingi oleh lorong2 yang besar yang menampung ratusan kamar.  Dengan semua ruang, gudang, sumur dan kamar tidur di dalam, fungsi bangunan besar seperti hampir seperti kota benteng kecil.

Ukuran bangunan ini ada yang kecil, menengah dan besar. Yang kecil dengan ketinggian tembok 1 – 2 M, hanya memiliki satu lorong dan diisi dengan 21-28 kamar. Ukuran menengah dengan tinggi 3 – 4 M dengan ruang terbuka yang besar , ada yang memiliki satu lorong atau 2 lorong, berisi 30-40 kamar. Bangunan-bangunan bulat yang lebih besar biasanya memiliki ketinggian 4- 5 M yang terdiri dari sebanyak tiga putaran memiliki sekitar 42-58 kamar.  Ada lagi bangunan bulat sangat kecil memiliki sekitar 12-18 kamar.

Luas Tu Lou ini sekitar 10.200 m2 dan yang terbesar mencapai 40.000 m2 dengan ketinggian 3-4 lantai dan ketebalan dinding mencapai 1,8 m, dan ditinggali sebanyak 800 orang.

Ingatkah pembaca dengan film KungFu Hustle ? Tempat tinggal para penjahat menyerupai Tu Lou.

Salah satu Tu Lou yang terkenal adalah Tsap Hing , dibangun pada tahun 1419 mengunakan bambu dan tanah liat, dengan diameter 66 M, ketebalan tembok 1, 6 M, terdiri dari 4 tingkat, mempunyai 247 kamar. Tsap Hing Tu Lou terletak di desa ChuXi, Yong Ding.

Tu Lou yang tertua adalah Fu Xing Lou terdapat di kota Le Hu dibangun lebih dari 1200 tahun lalu, menjadi fosil hidup saksi karya arsitektur orang Hakka.

Lebih dari dua puluh ribu dari rumah-rumah ini masih berdiri hari ini, sepuluh di antaranya berusia lebih dari 600 tahun. Sebagian Tu Lou masih dijadikan tempat tinggal oleh orang Hakka, banyak juga kaum muda yang tidak menyukai tinggal di Tu Lou, dan pindah ke apartment modern.

Hakka Tulou terbagi menjadi :

Hongkeng Tulou Cluster dikenal sebagai Desa Budaya Yongding Hakka, terletak di kota Hukeng. Tu Lou terlengkap dan masih terawat dengan baik. Ada hampir 100 Tu Lou didesa ini, berdiri di sepanjang tepian sungai.

Chengqilou Tu Lou terbesar di Yongding County, dijuluki “the King of Tulou” berumur hampir 300 tahun, mempunyai 400 kamar, dan pernah dipergunakan oleh 80 keluarga hidup bersama.

Tianluokeng Tulou Cluster, terletak di Shangban Village, Shuyang Town, mempunyai 4 Tu Lou bulat dan 1 Tu Lou tanah persegi panjang. Tu Lou ini salah satu yang terkenal, Tu Lou ini mempunyai istilah Si Cai Yi Tang, 4 sayur dan 1 sup.

Yuchang Lou, terletak di Desa Xiaban, Fuyulou dibangun pada 1308 dan merupakan salah satu Tu Lou tertua. Terkenal dengan bangunan lima pilar.

Changjiao Ancient Village, desa kuno yang indah ini diberi nama dari Jembatan Changjiao yang menghubungkan Heguilou dan Huaiyuanlou. Sepanjang tepi sungai adalah pohon beringin kuno, bangunan kuno dan petak-petak lahan pertanian. Berjalan melalui desa ini akan membawa anda kembali ke masa silam.

Eryilou, dibangun pada tahun 1770, disebut Raja dari 1.000 Tulou. Dengan diameter bidang 73,4 meter, rumah Eryilou terdapat 192 kamar terdiri dari 4 lantai, dan mempunyai halaman dengan luas 600 meter persegi. Eryilou ini selamat dari pengepungan musuh selama 3 bulan, mortil yang ditembakkan hanya meruntuhkan sebagian dinding luar.

Sumber : Beberapa buku dan harian lokal

logo
Copyright © 2008 by Arts of Meidy's.
Original Template by Clairvo