separate
logo

Apr 18, 2009

meidy

Review Buku : "Chinese Democracies, A Study of the Kongsis of West Borneo (1776-1884)" - Dr. Yuan Bing Ling

 

Dr. Yuan Bingling adalah seorang peneliti wanita lulusan Fudan University yang melanjutkannya di Institute of Nanyang Research of the University of Xiamen. Artikel tentang keramik Dehua itu juga sangat informatif dan menarik dari Dr. Yuan, dimana sangat jarang ditemukan tulisan yang membahasnya, walaupun keramik ini banyak dijumpai di Indonesia. Buku "Chinese Democracies, A Study of the Kongsis of West Borneo (1776-1884)" yang ditulis oleh Dr. Yuan ini dibuat berdasarkan hasil disertasinya di Universitas Leiden, Belanda. Memang sukar untuk mendapatkannya buku tersebut di Indonesia yang diterbitkan di Leiden University, Netherland itu dan alangkah baiknya juga kalau buku ini dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia nantinya.

Buku-buku mengenai sejarah republik kongsi di Kalbar saat kini masih langka atau sangat terbatas. Dr. Yuan sendiri dalam penelitiannya, selain melakukan penelitian di lapangan (Kalbar), ia banyak mendapatkan bahan dan data dari arsip-arsip dan dokumen pemerintahan Hindia Belanda yang tersimpan di Leiden.


Tetapi dalam penelitiannya di Indonesia Dr. Yuan BL tidak berhasil mendapatkan akses ke Arsip Nasional walaupun telah berusaha dengan berbagai upaya dan tidak diketahui apa alasannya, apakah ini sebuah faktor kesengajaan atau birokrasi? Karena ketika itu masih jaman Orba yang mempunyai versi sejarah sendiri saat penelitian dilakukan.


Bahkan dalam buku "Sejarah Nasional Indonesia" yang disusun oleh Nugroho Notosusanto dan M. Djoened Poesponegoro tidak disebutkan sekalipun mengenai perang atau perlawanan melawan Belanda itu, terutama dalam buku jilid 4 yang membahas hampir semua perlawanan terhadap kolonialisme pada periode 1800-1900 di wilayah lainnya Indonesia, kecuali di Kalbar . Hal ini dapat terjadi mungkin karena sejarah perang Kongsi dengan Belanda di Kalbar tidak atau belum diterima (diakui) sebagai bagian dari historiografi sejarah nasional Indonesia atau sedikit tulisan dan penelitian sejarah mengenainya. Kalaupun ada hanya dicantumkan sepintas saja dan disebutkan hanya sebagai pemberontakan Cina terhadap Belanda saja dan bukan sebagai perlawanan terhadap kolonial Belanda.


Bukunya sendiri mempunyai 354 halaman. Hampir semua chapter telah dimasukkan kedalam website www.xiguan.net ini (diakses bulan juni 2007), kecuali appendices, bibliography dan index. Mungkin ada baiknya juga jika dapat dilengkapi lagi dengan appendices-nya yang berjumlah 12 appendices (54 hal), karena banyak toponim, nama orang dan peranannya serta istilah bahasa Tionghoa dan nama-nama organisasi kongsi lainnya dicantumkan dalam appendices itu.


Hal yang menarik dalam tulisan Dr. Yuan ini dan berbeda dengan pengertian atau persepsi banyak orang sampai kini adalah mengenai peranan Lanfang kongsi, terutama dalam peperangan dengan Belanda.
Pendapat Dr. Yuan identik dengan Mary Somers Heidhues (Chinese Settlement in Rural Southeast Asia: Unwritten Histories) yang mengatakan bahwa "Heshun Zongting" kongsi di Montrado (50 km sebelah utara Mandor) yang didirikan tahun 1776 lebih besar dan tua daripada Lanfang kongsi yang didirikan oleh Luo Fangbo (Low Lan Pak / Luo Fangkou) pada tahun 1777.
Menurut Dr. Yuan sejarah Kongsi di Kalbar sesungguhnya adalah sejarah Kongsi Montrado, merekalah yang memberikan perlawanan dengan gigih untuk mempertahankan kebebasannya terhadap Belanda dan bukan Lanfang Kongsi (The history of the Chinese kongsis is therefore by and large that of the Montrado kongsi, and not of the Lanfang kongsi).


Pertempuran yang paling besar dan menentukan dalam peperangan antara kongsi dengan Belanda terjadi Montrado pada tahun 1853-1854. Lanfang kongsi sendiri luput dari serangan Belanda dalam perang tersebut. Dan baru ketika pemimpin Lanfang kongsi terakhir Liu Asheng, meninggal dunia di tahun 1884, Belanda datang untuk merebut dan menundukkannya, sehingga berakhirlah sejarah kongsi di Kalbar untuk selamanya, jadi setelah sekitar 30 tahun Montrado dikalahkan oleh Belanda
Dengan demikian lebih banyak dan mudah orang mengingatnya sejarah Lanfang di Mandor daripada Heshun di Montrado, selain itu tulisan- tulisan tentang sejarah kongsi banyak mengenai Lanfang daripada kongsi di Montrado (separti De Grott). Karena ini mungkin Dr. Yuan memilih judul bukunya "Kongsis of West Borneo" dan bukan Lanfang kongsi.
Tetapi pemimpin kongsi di Kalbar yang terkenal tetap Luo Fangbo (Low Lan Pak) yang mendirikan Lanfang Kongsi atau Republik Lanfang dan beristrikan seorang wanita Dayak.


Luo Fangbo adalah seorang Hakka dan tokoh sejarah yang besar dari Kalbar. Liang Qichao (tokoh reformator dari Tiongkok) juga pernah menulis sebuah artikel tentang riwayat hidup delapan perantau besar Tiongkok, dimana Liang mengangkat nama Luo Fangbo (Low Lan Pak) yang mendirikan Lanfang Kongsi atau Republik Lanfang itu sebagai salah satu yang tokohnya.


Kontribusi selain pertambangan ? Sejak tahun 1850 kongsi-kongsi sudah mulai melemah, dikarenakan peperangan dan persaingan antara mereka sendiri serta sumber pertambangan yang mulai menipis, akibatnya banyak orang Tionghoa mulai beralih ke sektor pertanian (seperti di Singkawang), perdagangan dan industri. Disektor ini masyarakat Tionghoa Kalbar relatif banyak memberikan kontribusi selain teknologi pertambangan emas yang maju, seperti teknologi pertanian panen ganda beras (double-cropped wet rice), teknologi tanaman penghasil gula (tebu), dan perintis perkebunan karet. Hal yang sama terjadi dengan orang Tionghoa di Bangka yang memperkenalkan teknologi pertambangan Timah dan tanaman Lada. (Mary Somers Heidhues: Chinese Settlement in Rural Southeast Asia: Unwritten Histories)

Apr 4, 2009

meidy

Telur Atau Ayam?

 

Kita sering dibingungkan oleh pertanyaan, “apakah telur duluan ada, atau ayam duluan ada”. Sudah berabad-abad, untuk pertanyaan ini belum ada jawaban yang pasti. Setiap pertanyaan tersebut muncul, yang terjadi adalah perdebatan tidak berkesudahan.
Masa bodoh dengan pertanyaan itu! Tidak ada gunanya mencari jawaban atas pertanyaan itu! Demikian kesimpulan pertama saya tentang pertanyaan tersebut.


Dengan “perjalanan pencarian” yang saya lakukan; saya menyadari, saya dapat mengabaikan pertanyaan tersebut.
Tetapi, dalam kehidupan nyata, saya sering terjebak dalam keadaan seperti yang disiratkan oleh pertanyaan “telur duluan ada atau ayam duluan ada?” Banyak pertanyaan yang sifatnya seperti itu tidak dapat saya jawab. Banyak sekali hal-hal yang menimbulkan kebingungan harus duluan ini atau duluan itu? Hal tersebut kadang menimbulkan rasa “tidak percaya diri” dalam mengatasi banyak masalah. Tampaknya, mencari jawaban atas pertanyaan “telur duluan ada atau ayam duluan ada” tidak dapat diabaikan begitu saja.


Kalau saya mengatakan, “telur duluan ada”. Apa bukti dan argumen saya? Dan mereka yang menolak “telur duluan ada” dan menyatakan “ayam duluan ada”. Apa pula bukti dan argumen mereka? Bukankah yang menyatakan “telur duluan ada” atau yang menolak, sebenarnya sama sekali tidak ada pengetahuan yang pasti? Sama-sama sebenarnya tidak tahu mana yang duluan ada? Artinya, yang menyatakan “telur duluan ada” atau yang menyatakan “ayam duluan ada” sama-sama tidak dapat dibenarkan atau disalahkan. Dan masing-masing dapat diterima maupun ditolak? Ah… makin membingungkan!


Yang pasti, ada satu hal yang dapat dipastikan, baik yang menyatakan “telur duluan ada” atau “ayam duluan ada”, sebenarnya mereka tidak ada pengetahuan yang pasti.
Artinya kita sebenarnya tidak tahu “telur duluan ada” atau “ayam duluan ada.” Dan, kedua-duanya tidak dapat dinyatakan salah karena ada nilai kebenaran masing-masing. Di sini berlaku “kebenaran relatif”.
Akhirnya, saya menyadari pangkal permasalahan dari perdebatan yang tidak berkesudahan tersebut. Tentu disebabkan “ketidaktahuan dan kebodohan” kita sebagai manusia yang penuh dengan keterbatasan. Sebenarnya yang tahu hanyalah Tuhan (kebenaran absolut). Pertanyaan “telur duluan ada atau ayam duluan ada” sebenarnya tidak dapat dijawab oleh manusia. Tetapi saya telah mendapat satu jawaban dari “perjalanan pencarian saya” dari pertanyaan tersebut; akhirnya saya memahami di dunia ini akibat keterbatasan yang dimiliki manusia menyebabkan “ketidaktahuan dan kebodohan manusia”. Akibatnya berlaku “hukum relativitas”.


Perjalanan pencarian saya, belum menjawab permasalahan saya dalam mengatasi “telur duluan ada atau ayam duluan ada”. Tetapi saya menyadari perjalanan pencarian saya yang diprovokasi oleh pertanyaan ini, telah mengantar saya ke pintu “perjalanan pencarian berikutnya”. Yakni, pintu untuk memahami apa itu “kebenaran” dan “hukum relativitas”.
Dan, pertanyaan “telur duluan ada atau ayam duluan ada” akan tetap menjadi pertanyaan klasik bagi manusia untuk melakukan “perjalanan pencarian”. Apakah ada yang mau diprovokasi untuk menemukan “kebenaran”.


Sumber : Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Medan.

meidy

Nama Tionghoa yang Bangun dari Tidur Panjang

 

Era reformasi dan angin kebebasan membuat nama-nama Tionghoa hidup kembali. Haruskah nama marga diatur agar seragam?

Banyak kejadian lucu namun tragis yang dialami generasi muda Tionghoa di Indonesia menyangkut soal nama. Akibat kebijakan asimilasi dan kondisi politik selama pemerintahan Orde Baru, nama-nama pribadi maupun marga terkikis perlahan. Dampaknya beragam, tapi paling banyak adalah mereka tidak mengenali sanak saudaranya atau bingung dengan tingkat hubungan darahnya.

"Siapa sih dia? Tante? Atau jangan-jangan seangkatan dengan saya?" Kira-kira begitu kisahnya.

Datangnya angin reformasi memberi kebebasan warga Tionghoa untuk mengekspresikan tradisi melalui nama Tionghoa. Para orangtua yang masih menghargai tradisi leluhur, begitu bersemangat memberi nama Tionghoa kepada keturunannya. Meski akhirnya statusnya cuma pelengkap.

"Ini karena kebanyakan anak dari lahir sudah diberikan nama Indonesia, meskipun nantinya banyak orang tua yang memberikan nama Tionghoa," ujar Tirtahadi Sendjaja, Wakil Ketua Umum Bidang Komunikasi Antar Marga dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI).

Tidak ada pola tetap

Di Indonesia sendiri menurut catatan PSMTI ada sekitar 100 nama marga Tionghoa yang penyebarannya merata di seluruh daerah. "Sebenarnya lebih dari itu, namun yang terdata dan pernah kami kumpulkan ya sekitar jumlah itu" jelas Tirta.

Marga-marga yang dapat terdata oleh PSMTI beberapa di antaranya adalah Qiu, Gu, Tian, Wu, Tjoo, Thong, Liu, Lay, Yap, Xie, Feng dan Yi. Semuanya rata-rata memiliki komunitas yang berdiri sendiri dan rutin mengadakan pertemuan internal. Di luar komunitas itu, PSMTI kesulitan mendapat keterangannya.

Soal penyebaran marga ini, menurut Tirta, memang tidak memiliki pola tetap. Terbukti jumlahnya begitu merata. Bisa jadi pola itu dulu pernah ada, misalnya marga Qiu pertama kali datang langsung ke Purwokerto. Nah, setelah itu mengajak serta keluarganya, hingga marga itu dominan di daerah tersebut. "Tapi ini tidak bisa dipastikan di setiap daerah," papar pria yang juga menjabat sekretaris umum Perhimpunan Suku Hakka di Indonesia ini.

Ketika pemerintahan masa silam memberlakukan kebijakan asimilasi, wajar jika kemudian terjadi kebingungan di kalangan warga Tionghoa, lantaran nama-nama warisan leluhur itu berubah menjadi nama Indonesia. Aturannya juga tidak ada, sehingga akhirnya satu marga bisa beralih menjadi dua nama Indonesia. Marga Lim misalnya berubah menjadi Halim atau Salim.

Harus percaya diri

Dengan angin kebebasan saat ini, serta menyadari lunturnya pemahaman budaya peranakan di generasi muda, sejumlah tokoh senior peranakan Tionghoa memiliki pemikiran soal marga. Pendapat mereka, nama marga bisa menjadi salah satu faktor yang dapat menyelamatkan identitas budaya. Meski banyak pihak yang kemudian mempertanyakan pemikiran ini.

Tedy Jusuf, salah satu tokoh peranakan Tionghoa, berargumen bahwa saat ini marga adalah salah satu hal yang bisa dipertahankan untuk melestarikan budaya Tionghoa. Sebab selain menjadi bagian dari identitas, marga juga masuk dalam warisan budaya Tionghoa, laiknya pakaian adat, makanan dan tradisi lainnya. Karena itu keragaman warga Tionghoa juga perlu dirawat dan dipelihara dengan baik.

"Walau banyak generasi muda keturunan Tionghoa kini yang tidak bisa bahasa Mandarin, setidaknya mereka tahu dan bisa menuliskan marganya dalam bahasa Mandarin." tutur purnawirawan TNI tersebut.

Dalam pemikiran Tedy, sesuatu bisa disebut suku bukan hanya karena ada wilayah, tetapi juga budaya dan adat istiadat. Jadi ia menginginkan warga Tionghoa juga percaya diri menyebut diri sendiri suku nasional Indonesia. Lengkap dengan segala warisan budaya, dan adat istiadatnya termasuk marga yang masih dipakai.

Tentang perubahan nama marga yang sudah terjadi, Tedy hanya bisa berharap ada suatu aturan yang bisa memperjelas. "Sehingga meskipun marga Lim berubah menjadi Salim atau Halim semuanya bisa disamaratakan. Tujuannya agar jelas generasi-generasi peranakan Tionghoa selanjutnya tidak bingung akan marganya, akan budayanya," jelasnya.

Anda siap berubah nama?.

Nama ditentukan leluhur

Nama Tionghoa biasanya terdiri atas dua hingga empat karakter dengan komposisi: nama keluarga - nama generasi - nama diri. Ketiganya bertaut dengan indah, perlambang kebanggaan, status dan doa dari orang tua.

Berbeda dengan cara penanaman barat, penanaman Tionghoa menempatkan nama keluarga di awal kalimat. Nama yang diwariskan menurut garis ayah ini menjadi tanda sejarah, sekaligus simbol penghargaan dan kebanggaan terhadap leluhur.

Dari nama ini bisa dilihat jejak generasinya. Karakter kedua dalam nama Cina menandakan urutan generasi. Dalam 1 keluarga besar, kalangan saudara yang sederajat atau setara (dalam hal urutan hubungan darah) memiliki nama generasi dengan karakter yang sama.

Walau begitu, formula ini tidak selalu dipraktikkan di kalangan Tionghoa Indonesia. Terkait soal nama generasi misalnya, beberapa tak lagi tahu menahu tentang urutan generasinya. Kalaupun ada yang tahu, ia pastilah tergabung dengan perkumpulan marga atau memiliki rekam jejak lengkap tentang leluhurnya.

Sang leluhur yang punya andil menentukan generasi ini berdasarkan sebuah puisi atau bait didalamnya. Satu puisi dapat mengandung 16 hingga 24 karakter, jadi keturunan pertama hingga selanjutnya akan dinamakan seperti yang sudah ditentukan. Pada generasi ke-17 atau 25, maka nama generasi yang akan digunakan akan kembali ke karakter pertama.

Pemberian nama diri biasanya lebih mengarah pada gender atau jenis kelamin sang anak. AnakS lelaki akan dipilihkan nama-nama yang mencerminkan kemaskulinan seperti kekuatan dan keteguhan. Sedangkan anak perempuan, namanya mengandung unsur keindahan, kelembutan atau bunga.

 

Sumber : Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia

logo
Copyright © 2008 by Arts of Meidy's.
Original Template by Clairvo