separate
logo

Feb 26, 2012

meidy

DUA ORANG SATU HATI

 

Qia dan Kong mereka masing-masing mempunyai kelebihan dan keahlian sendiri. Qia adalah seorang yang mempunyai banyak trik, tetapi ketika melakukan pekerjaan
sangat tidak menentu, sedangkan Kong adalah seorang yang tegas, tetapi sering lalai dan melakukan kesalahan.

Mereka memutuskan untuk bekerja sama, sehingga bisa saling mengisi kekurangan masing-masing. Setelah bekerja sama mereka berdua walaupun melakukan kerja apa saja selalu sukses, sehingga setiap keinginan mereka menjadi kenyataan.

Pada suatu ketika diantara mereka berdua terjadi konflik, konflik tidak dapat diselesaikan mereka berdua memutuskan akan membubarkan perusahaan mereka dan membagi harta.

Seorang teman membujuk mereka berkata, "Kalian pernah mendengar tentang ubur-ubur laut, karena dia tidak memiliki mata, dia tergantung kepada udang untuk mencari makan, udang dan ubur-ubur saling membagi makanan, mereka berdua saling bergantung, kurang dari satu mereka tidak bisa mencari makan, di Barat ada sejenis burung kepala dua, burung ini memiliki dua kepala dan satu badan, tetapi kedua kepala ini saling cemburu, mereka berdua tidak pernah akur. "

"Jika mereka berdua dalam keadaan lapar akan saling mematuk dan saling menggigit satu sama lain, salah satu diantara mereka sedang tertidur, yang satu mengambil daun beracun dimasukkan kemulut burung yang tertidur tersebut, akibatnya racun masuk kedalam tubuh akhirnya mereka berdua mati bersama."

Setelah mendengar nasehat dari teman mereka, akhirnya mereka berdua berdamai, bersatu kembali melaksanakan bisnis mereka, bekerja sama lagi. Akhirnya segala hal dapat diselesaikan dengan lancar.

Perumpamaan di atas untuk memberitahu kepada kita bahwa kemampuan semua individu sangat terbatas, tetapi kekurangan dari salah satu tidak akan sempurna. Jika bisa saling percaya, konsultasi bersama, bersatu dan bekerjasama, saling belajar sehingga dapat membangun masyarakat yang damai.

Feb 19, 2012

meidy

LEGENDA BOCAH BERTELANJANG KAKI

 

Pada zaman dahulu kala, ada seorang bocah laki-laki yang bernama Erlang Huang, yang merupakan murid di sekolah swasta Tuan Wang di Kabupaten Wuxi, China.Bocah itu pada pakaiannya selalu dilapisi oleh lumpur berwarna kuning, sehingga warga desa setempat menamainya sebagai Huang Nie Lang.
Kabupaten Wuxi berbatasan dengan Danau Tai, dan memiliki pelabuhan yang
dinamakan Pelabuhan Wuxi.

Huang Nie Lang memiliki kebiasaan buruk, dia selalu ketiduran ketika hujan deras atau angin kencang melanda Danau Tai.
Ketika dia tertidur, tidak ada seorang pun yang dapat membangunkannya. Akan tetapi, ketika dia bangun, dia akan berkeringat. Gurunya Mr.Wang sangat terganggu dengan kebiasaan anehnya, dan selalu mempertanyakan mengapa dia tertidur ketika sedang belajar.


Ketika ditanyai hal tersebut, Huang Nie Lang hanya dapat diam ketika dikritik.
Ketika suatu kali terjadi lagi, Mr.Wang bertanya dengan marah,"Apakah kamu ke sini untuk belajar?"
Bocah laki-laki tersebut dipaksa untuk menceritakan kebenaran, "Tidak, Tuan.
Saya tidak tertidur. Saya hanya keluar untuk menyelamatkan orang-orang yang berteriak minta tolong dari Danau Tai." Mendengar jawaban yang disampaikan bocah tersebut, tuan Wang berteriak marah."Tidak masuk akal! kamu tertidur di bangku kelas, bagaimana mungkin kamu keluar menyelamatkan orang?."
Bocah laki-laki tersebut menjawab,"Jika anda tidak percaya, anda dapat pergi ke Pelabuhan Wuxi untuk melihat, ada lima kapal yang tertambat di sana yang baru saja saya selamatkan."
Maka Tuan Wang meminta satu muridnya pergi melihat di pelabuhan dan murid tersebut bertemu dengan orang-orang yang naik kelima perahu tersebut, menceritakan bagaimana mereka begitu beruntung, karena ada anak laki-laki yang dilapisi oleh lumpur kuning telah menyelamatkan mereka dari badai.


Murid tersebut menceritakan apa yang di dengarnya kepada tuan Wang, tetapi tuan Wang masih ragu. Tuan Wang kemudian menyembunyikan sebelah sepatunya ketika suatu kali dia tertidur lagi di dalam kelas.
Ketika bocah tersebut terbangun, dia sangat cemas dan berkata,"Siapa yang
menyembunyikan sepatu saya? memerlukan waktu yang cukup lama bagi saya untuk mencari sepatu tersebut, dan saya tidak dapat menemukannya."
"Akhirnya saya harus bergegas ke pelabuhan dengan hanya memakai sebelah sepatu, karena saya terlambat, saya hanya dapat menyelamatkan delapan dari sepuluh kapal.

Dua kapal tersebut bertabrakan dengan batu besar, saya menggunakan satu
sepatu saya untuk menutup lubang di satu perahu, dan perahu yang satunya lagi tenggelam," kata bocah itu.
Apa yang dikatakan oleh bocah tersebut sangatlah sulit dipercaya oleh Tuan Wang, sehingga dia memutuskan untuk pergi ke pelabuhan melihat sendiri. Dengan terkejut, dia mendengar para pelaut di pelabuhan mengatakan,"Kita harus menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Huang Nie Lang yang bukan hanya telah menyelamatkan perahu-perahu kita tetapi juga nyawa kita."Tuan Wang sangat menyesal tidak mempercayai perkataan bocah tersebut, dan kembali ke sekolah.

Tuang Wang kemudian berkata kepada Huang, "Anakku, saya
seharusnya tidak menyembunyikan sepatu kamu, sehingga perahu satunya lagi dapat terselamatkan."
Tuan Wang kemudian mengeluarkan sebelah sepatu yang dia sembunyikan, tetapi Huang berkata, "Sepatu ini sudah tidak berguna lagi, lain waktu saya akan menyelamatkan orang-orang dengan bertelanjang kaki." Sejak saat itu Tuan Wang menyadari bahwa Huang adalah bocah yang spesial, sehingga ketika dia tertidur di dalam kelas, Tuan Wang tidak akan mengganggunya lagi.Tetapi suatu kali, Huang tertidur ketika sedang belajar, Tuan Wang melihat dia mengeluarkan keringat yang sangat banyak, sehingga beliau duduk di sampingnya dan menggunakan kipas untuk mengipasinya, tetapi dia heran bahwa semakin keras dia mengipasinya, Huang semakin berkeringat.


Tuan Wang berusaha untuk menyejukkan bocah tersebut. Terheran-heran, dia melihat bahwa keringat bocah tersebut telah mengering, dan tubuh bocah tersebut mengeluarkan darah dan akhirnya meninggal.
Tuan Wang sangat sedih dan menangis pilu dua hari dua malam. Kemudian dia bermimpi Huang datang kepadanya dengan bertelanjang kaki dan berkata,"Tuanku yang tersayang, anda berusaha untuk menolong saya tetapi anda tidak menyadari telah mencelakakan saya. Anda mengipasi saya dari arah yang berlawanan dengan arah saya untuk kembali."


"Meskipun saya telah meninggal, tetapi jiwa saya akan tetap berada di Danau Tai, dan kapanpun ketika orang terjebak di angina kencang di Danau Tai, ingatlah untuk menyebutkan 'Huang Nie Lang bertelanjang kaki' dan saya akan datang untuk menolong mereka," ujar bocah itu.


Tuan Wang menangis pilu dan menyampaikan kata-kata tersebut kepada para pelaut. Para pelaut sangat sedih mengetahui bahwa Huang telah meninggal dan mereka membangun kuil untuknya di tepi Danau Tai.

Feb 12, 2012

meidy

TIKUS KOTA DAN TIKUS DESA

 

Pada suatu hari, tikus kota berkunjung ke sepupunya, tikus desa. Mereka sudah lama tidak jumpa.Tikus desa gembira bukan main, dikeluarkannya semua makanan yang ada untuk tamunya.

Ada remah jagung, singkong dan sedikit padi-padian."Ayo, silakan makan saudaraku, " kata tikus desa dengan ramah.Tikus kota memandang semua remah-remah makanan desa itu dengan enggan.
Tikus desa bertanya: "Kenapa? Kau tidak suka?"
Tikus kota menjawab. "Sudah lama aku tidak makan .. makanan-makanan mentah dan keras ini!" "Gigiku sakit karenanya," lanjut Tikus kota
"Tapi ini makanan yang dulu sama-sama kita makan! Lihat, butir-butir padi ini
begitu bernas, dan gurih!" berkata begitu Tikus desa lalu mengunyah beberapa butir padi dengan lezatnya.


"Yah, itu dulu, sebelum aku tahu makanan-makanan kota yang serba empuk dan lezat!" kata tikus kota, tanpa bermaksud sombong.
"Makanan kota yang empuk dan lezat? Seperti apakah itu," tanya Tikus desa
penasaran. Akhirnya Tikus kota mengajak saudaraya ke kota.
"Akan kutunjukkan makanan-makanan mewah yang empuk dan lezat!" ajak tikus kota.

Dua Tikus berjalan beriringan menuju kota. Perjalanan panjang dan berliku,
melewati sawah dan ladang petani.
Hari telah malam ketika keduanya sampai kota. Mereka langsung ke rumah Tikus kota, tikus desa langsung diajak ke dapur. Disitu banyak bertebaran makanan serba lezat bekas pesta semalam. Bukan pestanya Tikus kota, melainkan pestanya manusia yang empunya rumah itu.
"Lihat, ini ada roti tart yang lezat… Itu ada jelly.. ada keju.. daging ayam..
semuanya serba empuk dan lezat. Kamu boleh makan apa saja…" kata Tikus kota.


Mulut Tikus desa berkecap-kecap membayangkan lezatnya semua makanan itu. Tiba-tiba terdengar suara menyalak diluar.  Tikus desa tersentak kaget.  "Suara apa itu?" tanyanya ketakutan.
"Ah, biasa, itu suara anjing penjaga," jawab tikus kota.
"Anjing penjaga??" tanya tikus desa ketakutan.
Tiba-tiba pintu terkuak, dan seekor anjing besar menyergap masuk.."Lariiiiii!"
kata tikus kota.

Keduanya lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Setelah selamat dari anjing penjaga itu, tikus desa buru-buru berpamitan.
"Kenapa buru-buru, sepupuku? kau bahkan belum sempat mencicipi makanan yang empuk dan lezat itu!" kata tikus kota.
"Terima kasih, saudaraku. Aku lebih senang makan biji-bijian yang keras di desa, dari pada hidup mewah di kota dengan anjing yang mengerikan itu…"
Tikus desa pun pulang ke desanya kembali, memilih hidup apa adanya tanpa
ketakutan.

Feb 5, 2012

meidy

PERBEDAAN ANTARA KAYA DAN MISKIN

 

Pada suatu hari, Pak Suwarta, seorang pengusaha kaya raya mengajak putranya yang berusia tujuh tahun untuk berlibur dan menginap di sebuah desa selama beberapa hari. Desa itu adalah kampung halaman Pak Suwarta, tempat ia tinggal bersama orangtuanya sampai saat dirinya memutuskan merantau ke kota besar dan akhirnya meraih kesuksesan.
Pak Suwarta memang tidak datang dari keluarga kaya raya. Kampung halamannya sangat sederhana dan penduduknya kebanyakan berprofesi sebagai petani.

Tujuan Pak Suwarta sesungguhnya membawa putranya itu berlibur ke desa adalah agar si buah hati dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana susahnya ia dulu harus hidup sebagai orang miskin, tak seperti yang dialami putranya kini.
Selama seminggu penuh Pak Suwarta dan putranya tinggal di desa. Mereka tinggal dan menumpang tidur di rumah Pak Karto, sahabat Pak Suwarta semasa kecil.

Rumah Pak Karto sangat sederhana; berdinding papan, berlantai semen, dan tidak berpagar. Sekitar 10 meter di belakang rumah itu terdapat sungai kecil yang mengalir dengan airnya yang jernih. Sungai itu adalah sungai yang sama yang digunakan Pak Suwarta berenang dan bermain air 30 tahun yang lalu. Sementara itu, di depan rumah Pak Karto terbentang tanah lapang yang luas, tempat anak-anak petani bermain layangan serta menggembalakan ternak.
Tak terasa, seminggu telah berlalu.

Pak Suwarta dan putranya pun harus kembali ke kota. Dalam perjalanan pulang sembari mengemudikan mobilnya, Pak Suwarta melontarkan pertanyaan kepada putranya, "Bagaimana Nak, setelah seminggu menginap di desa, apa saja yang kamu lihat dan dapatkan tentang keadaan di sana?"
Dalam hati Pak Suwarta berharap si anak bisa melihat betapa sulitnya kehidupan yang harus dijalani orang-orang miskin di desa.
Si anak pun menjawab, "Wah, luar biasa, Pa! Kolam renang kita di rumah kecil dan harus dibersihkan sekali-sekali. Kolam renang mereka panjaaaang sekali dan airnya terus mengalir." Sang anak pun melanjutkan, "Halaman rumah kita sempit dan tak bisa melihat apa-apa karena ada pagar tembok yang menjulang.

Halaman rumah mereka luaaasss sekali sejauh mata memandang dan bisa pula dipakai bermain layang-layang." "Kita harus mengantre panjang di supermarket untuk membawa pulang buah-buahan dan sayuran, sementara mereka tinggal mengambil saja dari kebun. Gratis, enggak bayar!" tambah si anak berbinar-binar.Dengan bersemangat, sang anak meneruskan omongannya, "Setiap hari Papa harus
pergi ke kantor seharian sampai malam, sementara Pak Karto bisa bermain-main dengan anaknya setiap sore. Kita harus pergi ke kebun binatang kalau mau naik hewan.

Sementara anak Pak Karto bisa naik kerbau maupun kuda setiap hari, enggak pake bayar!" serunya lagi.
Mendengar semua penjelasan itu keluar dari mulut putranya, Pak Suwarta hanya bisa terdiam. Ia tetap mengemudi mobilnya tanpa merespon kembali perkataan anaknya. Ternyata, orang-orang yang kita anggap miskin tak selalu miskin dalam hal lain. Sebaliknya, orang-orang yang kita persepsikan sebagai kaya juga tak selalu kaya dalam berbagai aspek lain dari hidupnya.

meidy

Memasukkan Unsur Tionghoa ke Dalam Pakem

ki-robbi

Aspertina - “Tok…tok…tok…tok…tok. Surep toto pitonono, Suwergine daging, rephanenggih swasono tentrem, toto hanggayuh pitono luhur, bahagyo tentrem lamun hangesti luhuring agunan…,” ucap Dalang Ki Robbi Wignya Carita setiap membuka sebuah pagelaran wayang.

Ki Robbi bukanlah dalang biasa. Mengapa? Dia merupakan salah satu dalang peranakan Tionghoa.

Ayahnya adalah The Kie Tjwan dan ibunya Lim Pong Han. Kendati berdarah Tionghoa, sejak kecil Robbi telah jatuh cinta pada wayang. Bukan orang tuanya yang memperkenalkan ia dengan wayang, melainkan pembantunya. Waktu Robbi masih kecil, sang pembantu kerap mengajaknya menonton pagelaran wayang kulit.

Itulah ihwal kecintaan Robbi pada wayang kulit. Karena cinta, sekitar 15 tahun lalu, Ki Robbi yang bernama lengkap Robbi Santoso alias The Thin Thue ini memutuskan belajar mendalang. Ia bahkan rela hijrah dari Malang, Jawa Timur, ke Solo, Jawa Tengah, demi mencapai cita-citanya. Di kota ini, ia berguru kepada Darsono, Joko Rianto, dan sejumlah dalang beken lainnya.

“Di sini saya belajar ontowocono, titi laras gending, tatakan pakeliran, sabet, dan lainnya. Sampai sekarang saya masih belajar,” ujarnya merendah, Kamis pekan lalu.

Dalam mendalang, Robbi cenderung meniru gaya almarhum Ki Nartosabdo, dalang wayang kulit legendaris asal Jawa Tengah. Kendati demikian, Robbi tetap punya ciri khas tersendiri. Di antaranya kemampuan dia menyelipkan kisah-kisah jenaka dalam bahasa China Hokian.

“Misalnya saya bilang kalau makan nasi itu bahasa Chinanya jok fan, minum air hok sue. Kalau Anda ditanya makan nasi tapi enggak minum air itu bilang saja kesereten. Kayak gitu penonton sudah pada tertawa,” ucap Robbi yang lahir di Malang, 44 tahun lalu.

Robbi rajin mempromosikan wayang kulit di komunitas peranakan Tionghoa. Di Solo, dia senantiasa mengajak sahabatnya, baik yang tengah mendirikan pabrik, acara selamatan, kawinan, atau peringatan 1.000 hari kematian untuk menggelar acara wayang.

Menurut Robbi, wayang tetap penting bukan hanya sebagai strategi pembauran etnis Tionghoa dan Jawa, tapi cerita dalam wayang juga sangat relevan dengan perilaku manusia masa kini.

“Sifat-sifat dan lakon wayang masih cocok dengan situasi sekarang. Ternyata masih ada manusia yang serakah, licik, semuanya tergambar di wayang. Teknologi boleh maju pesat, tetapi sifat manusia tetaplah sama,” katanya.

Tak hanya itu, ujar Robbi, wayang juga penting untuk melestarikan budaya. “Saya prihatin kok kebudayaan Jawa yang adiluhung, ternyata sekarang makin tersingkirkan. Orang-orang Jawa bahasa Jawanya sudah mulai hilang semua. Padahal ciri suatu bangsa kan karena bahasanya. Dibilang Jawa kalau berbahasa Jawa,” ujar pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang onderdil sepeda motor di Solo ini.

Akulturasi

Peneliti wayang China-Jawa dari Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti menilai keterlibatan aktif peranakan China jadi dalang merupakan bentuk akulturasi dan memperkaya budaya Nusantara. Menurut Dwi, selain Robbi, dalang sepuh peranakan China yang juga unik adalah Widayat Djiang yang menambahkan unsur kungfu di dalam cerita wayangnya.

Ketika dikonfirmasi, Widayat Djiang alias Tjioe Bian Djiang mengaku mendapat inspirasi menambahkan unsur kungfu setiap kali mementaskan wayang. “Saya mendalang sejak umur 12 sampai sekarang 72 tahun. Penemuannya itu baru 10 tahun lalu,” kata Widayat yang mengaku memasukkan jurus-jurus kungfu karena suka film kungfu, khususnya film Bruce Lee.

“Di wayang saya buat koprol-koprol, jungkir balik mirip kungfu. Kita juga pakai drum seperti alat tabuhan ala Tionghoa. Jadi seolah-olah gerakannya seperti kungfu," kata Widayat.

Selain Robbi dan Widayat, dalang peranakan lainnya berasal dari Pemalang adalah Mangun Yuwono alias Tiongho Go Kim Yang. Darah Tionghoa Mangun (31) berasal dari ibunya, Yusaini alias Jo Sin Cu. Dari garis keturunan ayah, Mangun bisa dibilang memang penjaga tradisi wayang. “Dari kakek moyang sampai ayah saya, semuanya dalang. Saya generasi ke-10,” ucapnya bangga.

Dalam mendalang Mangun mengaku menyesuaikan dengan ritme warga Pantai Utara (Pantura). “Dalam pertunjukan saya tidak pernah bertele-tele karena khas orang Pantura itu blak-blakan, banyak gerak dan sabet,” tutur Mangun yang saat belajar dalang di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo, pernah diceletuki seorang guru, “Lha iki Cino opo biso ndalang (ini kan China, apa bisa ndalang).” Gara-gara celetukan itu Mangun merasa tertantang dan ingin membuktikan keraguan sang guru.

Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI), Ekotjipto mengaku mendukung perkembangan dalang peranakan. “Banyak etnis Tionghoa yang cinta budaya Jawa, bahkan kalau di wayang orang ada banyak orang Tionghoa yang mendalami masalah tari,” katanya.

Wayang hanyalah salah satu sarana kesenian yang ditempuh etnis Tionghoa untuk berakulturasi dengan budaya lokal. Kesenian lain yang menjadi sarana akulturasi warga keturunan adalah musik gambang kromong dan drama lenong yang amat populer di kalangan orang China Benteng di Jakarta pinggiran.

"Musik gambang kromong yang bertempo lambat amat disukai orang-orang tua karena tidak banyak menguras tenaga ketika ditarikan. Liriknya pun cenderung ringan dan jenaka sehingga sering mengundang senyum," kata Ikke Sarkim (40), putri bungsu legenda lenong di daerah Serpong, Sarkim (Liem Kim Siong), yang kini meneruskan usaha ayahnya yang berdiri sejak 1962.

Sumber : Aspertina

Feb 3, 2012

meidy

Penguasa Jember Pertama adalah Tionghoa Peranakan

jember

Mulanya adalah perdagangan. Lalu politik, dan hidup bersama. Orang-orang Suku Hokkian meninggalkan Tiongkok, menyebar. Sebagian menuju Indonesia, dan mendarat di Jember, Jawa Timur. Kondisi perekonomian yang berat memaksa mereka pergi.

Jember tentu bukan tempat spesifik yang mereka sasar dari awal. Jember hanyalah bagian dari sebuah rumah besar Nusantara, dan sulit memastikan kapan orang-orang Hokkian ini menapakkan kaki ke kota ini pertama kali. Akhir abad 18 dan awal 19, Jember yang merupakan distrik dari Kabupaten Puger sudah dihuni mereka. Mereka datang dari daerah Besuki, Panarukan, Pasuruan dan Surabaya. Ada pula yang datang Jawa Tengah dan dari China Daratan langsung.

Tampuk kekuasaan di Puger sempat dipegang oleh seorang China peranakan, Kiai Tumenggung Suro Adiwikrama (1795-1801). Ia digantikan menantunya, Kiai Tumenggung Surio Adiningrat (1802-1813).

Mereka adalah Keluarga Han dari Surabaya, dan memberikan jabatan-jabatan strategis kepada orang-orang Tionghoa. Jabatan-jabatan rendah diberikan kepada warga lokal pribumi. Ini menunjukkan betapa kuatnya posisi mereka secara politis.

Di sektor perdagangan, orang-orang Tionghoa menguasai perdagangan hasil bumi, pertanian, kelontong, menjadi tukang kredit, dan rentenir. Mereka menjadi perantara antara kelompok pribumi yang menjadi produsen hasil perkebunan dengan para eksportir asal Belanda.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menerapkan politik segregasi antara warga kulit putih, Tionghoa, dan pribumi di Indonesia. Goenawan Mohamad menulis: penggolongan sosial di Hindia Belanda dasarnya adalah ras, bukan agama atau lainnya.

Sejarawan dari Universitas Jember, Retno Winarni mengatakan, orang-orang Tionghoa masuk dalam kelompok masyarakat Timur Asing (Vremde Osterlingen), yang awalnya terdiri orang Jepang, Tionghoa, Arab, dan lainnya. Mereka berada di tengah-tengah struktur masyarakat masa kolonial, dijepit masyarakat Eropa di atas dan masyarakat inlander atau pribumi di bawah.

Orang-orang Tionghoa memiliki pemukiman sendiri di distrik Jember. Mereka tinggal di daerah yang sekarang dikenal sebagai daerah Pasar Tanjung, sebuah pasar induk di Jember. Setelah Jember menjadi kepatihan yang berdiri sendiri (Kepatihan Selfstandig), pemukiman mereka berada di jalan yang saat ini disebut sebagai Jalan Untung Suropati dan Samanhudi.

"Si inlander harus berada dalam kalangan inlander dan berperilaku inlander, si China harus berada dalam kalangan China dan berperilaku China...Mereka umumnya tinggal di pecinan...Untuk melintasi ghetto mereka, orang Tionghoa harus mendapatkan pas jalan yang dikeluarkan oleh kapten China," tulis Goenawan.

Memiliki strata sosial lebih tinggi daripada orang-orang inlander, membuat orang Tionghoa menjadi sasaran kebencian warga lokal. Apalagi, pemerintah Hindia Belanda memberikan kepercayaan lebih, salah satunya, pada tahun 1906, dengan memberikan kewenangan kepada sejumlah orang Tionghoa untuk menjalankan pegadaian.

Sumber: http://www.beritajatim.com/detailnews.php/2/Gaya%20Hidup/2012-01-23/124779/Penguasa_Jember_Pertama_adalah_Tionghoa_Peranakan

logo
Copyright © 2008 by Arts of Meidy's.
Original Template by Clairvo