Melacak Sejarah (Tionghoa) Singkawang
Singkawang yang disebut sebagai kota seribu kuil, Hongkongnya Indonesia ataupun yang lebih nyentrik lagi diistilahkan sebagai kota amoy, menawarkan sensasi oriental di setiap sudut kotanya. Kentalnya nuansa oriental ini tercermin dari mayoritas penduduknya yang beretnis Tionghoa (Khek/Hakka) dan dalam keseharian bahasa Khek menjadi lingua franca diantara penduduknya, dan tidak sedikit kelompok etnis lain (pribumi) juga menggunakannya.
Suku bangsa – subetnis – Khek/Hakka ini oleh Skinner (1979: 6) disebut sebagai salah satu golongan bahasa (speech group) dari tiga golongan bahasa Tionghoa terbesar yang ada di Indonesia (Hokkian, Hakka, Kanton), merupakan salah satu pemilik “asli” Singkawang. Kepemilikan atas Singkawang ini tidak lepas dari sejarah kedatangan orang Khek itu sendiri di Kalimantan (Borneo).
Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara – salah satunya ke Borneo – bisa dilihat dari empat pola migrasi sebagaimana disebutkan oleh Gung Wu (2000: 4-10), yaitu pertama, perdagangan (huashang) yang terdiri dari para saudagar, para pekerja seperti penambang dan pekerja-pekerja terampil yang pergi ke luar negeri dan termasuk juga anggota keluarga mereka sendiri yang bekerja untuk mereka dan kemudian membentuk basis di pelabuhan, penambangan dan di kota-kota perdagangan.
Kedua, menjadi kuli (coolie atau Huagong) merupakan migrasi sejumlah besar para pekerja kuli yang biasanya terdiri dari para petani, pekerja yang tidak mempunyai tanah dan para penduduk urban yang miskin.
Ketiga, perantauan (Huaqiao) berarti para perantau yang bukan termasuk golongan pedagang dan kuli melainkan para guru, jurnalis, dan golongan-golongan profesional yang pergi ke luar Cina untuk meningkatkan kesadaran akan kebesaran budaya Cina dan untuk tujuan nasionalisme.
Dan pola keempat adalah re-migrasi orang-orang Cina atau keturunanya dari negara yang sudah didiami ke negara-negara lain (Huayi). Apabila mengacu pada empat pola tersebut, maka awal keberadaan orang-orang Khek di Borneo setidaknya mewakili pola huagong menjadi kuli (coolie) di berbagai pertambangan emas dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas. Selama gelombang perpindahan yang besar dari tahun 1850 sampai 1930, orang-orang Hakka (Khek) merupakan imigran yang paling melarat dari Tiongkok. Sampai sekarang orang Hakka paling banyak diantara orang Tionghoa di bekas disrik tambang emas di Kalimantan Barat (Skinner, 1981: 7).
Hubungan antara China dengan Kalimantan (Borneo) sudah ada sejak abad ke 9 M (Purwanto, 2005: 40). Sedang kedatangan orang-orang Tionghoa ke Kalimantan Barat (Borneo Barat) terjadi pada abad ke 13-14 M (Sikwan&Harni, 2004: 19). Orang-orang Khek ini yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan dan kemajuan Borneo sejak kedatangannya. Disebutkan bahwa ketika kedatangan orang-orang Tionghoa ini, kehidupan masyarakat di Borneo sangat sederhana, karena itu oleh Abdul Rachman I kelompok Tionghoa ini bersama dengan Melayu dan Bugis diminta untuk membangun dan mengembangkan sebuah kota (Setiono, 2008: 191). Tidak dijelaskan secara spesifik dalam tulisan tersebut nama kota yang “diberikan” oleh Penguasa saat itu kepada tiga kelompok etnik di atas.
Menapaktilas Jejak “Republik Lanfang”
Menilik dari berbagai catatan mengenai seorang tokoh berpengaruh yaitu Lo Fong (Pak) yang mana disebut sebagai founding father sebuah Kongsi (Kung sie) terkenal Lanfong, Singkawang sedikit banyak berusaha dikaitkan dengan kongsi Lanfong tersebut. Namun sebenarnya, belum terdapat bukti historis yang objektif mengenai hubungan antara “Republik Lanfong” Lo Fong (Pak) dengan keberadaan Singkawang. Sebut saja tulisan dari Lie Sau Fat (2008: 3) yang menggambarkan heroisme seorang Lo Fong (Pak) ketika pertama kali menginjakkan kakinya di tanah harapan (Kalbar/west Borneo) dengan memimpin sekitar lebih dari seratus laki-laki untuk mengadu nasib dengan mencari pertambangan emas. Akhirnya diceritakan kalau Lo Fong (Pak) dan “pasukannya” menemukan tambang emas di Mandor dan kemudian membentuk Lan Fong Kung Sie.
Tulisan Lie Sau Fat tersebut tampaknya mengenyampingkan fakta historis mengenai awal kedatangan orang-orang etnis Tionghoa di Borneo sebagai kelompok kuli kontrak yang dipekerjakan di beberapa daerah pertambangan emas seperti Larah dan Montrado oleh Sultan Sambas Umar Akamuddin (Sikwan&Triastuti, 2004: 19). Saat kedatangannya, Lo Fong (Pak) bersama orang-orang Tionghoa lainnya menjadi pekerja tambang emas, dan selanjutnya membangun “dinastinya” di Mandor.
Sikwan dan Triastuti (2004: 21) menyebut bahwa bertambahnya konsentrasi orang-orang Tionghoa di Singkawang tidak terlepas dari pemberontakan yang dilakukannya terhadap Kesultanan Sambas pada tahun 1760. Setelah konflik tersebut orang-orang Tionghoa yang ada di berbagai daerah pedalaman Kalbar (Kesultanan Sambas) “diusir” ke Singkawang. Hal ini mengindikasikan kalau keberadaan Singkawang sudah ada jauh sebelum terbentuknya Kongsi Lanfong, yang didirikan oleh Lo Fong (Pak) tidak lama setelah mendarat di Borneo pada tahun 1772. Pendirian Kongsi Lanfong ini tidak jarang menggunakan jalan kekerasan untuk menaklukkan kongsi-kongsi lain sehingga bernaung di bawahnya.
Secara khusus dalam salah satu bab dari bukunya yang super tebal, Setiono (2008) menyebut Kongsi Lanfong layaknya sebuah “Republik” yang mengakamodasikan kepentingan dari anggota-anggotanya yang ada di Borneo. Kepengurusannya berdasar atas kaidah-kaidah demokrasi, dengan mengutamakan mufakat dan pemilihan langsung dalam penentuan pemimpin dan kepengurusannya. Wilayah Mandor setelah ditaklukkan oleh Lo Fong (Pak), dijadikan sebagai “pusat” dari Republik Lanfong yang dipimpinnya. Republik Lanfong berdiri secara resmi pada tahun 1777.
Selama diperintah oleh (Tai Ko) Lo Fong – Tai Ko adalah sebutan untuk jabatan tertinggi dalam Republik Lanfong yang berarti Kakak Tertua – kekuasaan Republik Lanfong ini meliputi Pontianak, Mempawah dan Landak (Lontaan, 1975: 250).
Bagaimana dengan Singkawang? Di dalam kekuasaan Republik apakah Singkawang? Lontaan (1975: 251) hanya sedikit menyebut bahwa setelah kematian Lo Fong (Pak) pada tahun 1795, terjadi perang antara Taikong Kongsi yang beribukota di Montrado dengan Sam Tiu Kiu Kongsi yang beribukota di Sambas. Adapun sebab dari pertempuran tersebut adalah karena Kongsi Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di wilayah Sei Raya (Singkawang) yang mana merupakan masuk wilayah kekuasaan Taikong Kongsi Montrado. Dari penuturan tersebut jelas kalau dulunya Singkawang masuk dalam wilayah kekuasaan Republik Taikong yang berpusat di Montrado. Montrado ini lahir dan berkembang jauh lebih dulu daripada Singkawang, apalagi setelah berdirinya Kongsi Taikong (Republik Taikong) tersebut pada tahun 1745.
Menyitir dari Liu (2008: 84), tidak salah apabila kemudian orang-orang menyebut bahwa “sebelum ada Singkawang, sudah ada Montrado”.
Singkawang – San Kew Jong – memang sampai sekarang susah dilacak kapan tahun persisnya berdiri. Apabila berdasar atas fakta sejarah terbentuknya kongsi-kongsi awal di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas – salah satunya Kongsi Taikong Montrado yang berdiri tahun 1745 – maka bisa dipastikan kalau Singkawang sudah ada sejak pertengahan abad ke 18. Sebagaimana diakui oleh salah seorang Budayawan senior Singkawang (M.J. Mooridjan) dalam sebuah obrolan sore pada hari Rabu, 3 September 2008 yang lalu, beliau menyatakan bahwa Singkawang dulunya sudah pasti sebuah daerah hinterland, daerah yang berada di luar pusat kekuasaan (Sambas dan Montrado).
Namun, meskipun demikian Singkawang ini menjadi salah satu tujuan (transit) dari orang-orang Tionghoa yang menjadi buruh dan kuli pertambangan emas dalam kuasa Kesultanan Sambas. Lambat laun Singkawang ini semakin tumbuh dan berkembang yang tentu saja salah satunya karena peran dominan dari orang-orang Tionghoa.
Tulisan ini dimuat di Pontianak Post, tanggal 9-10 September 2008.
Referensi :
Gung Wu, Wang. 2000. China and The Chinese Overseas. Singapore: Eastern University Press.
Liu, Wu. 2008. Bahasa Hakka di Singkawang. Jakarta: Buletin Permasis Tahun ke 2 Maret-April
Lontaan, J. U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumi Restu.
Purwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu.
Setiono, Benny G. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Transmedia.
Sikwan, Agus & Triastuti, Maria Rosarie Harni. 2004. Tragedi Perdagangan Amoy Singkawang. Yogyakarta: PSKK UGM – Ford Foundation.
Skinner, William G. 1981. Golongan Minoritas Tionghoa. Dalam Mely G. Tan (ed.). Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia.