Penyerbukan Silang Antar Budaya
Pemilik hak cipta istilah cross cultural fertilization (penyerbukan silang antarbudaya) tentunya Eddie Lembong 75 tahun. Konsep intinya adalah gagasan membangun Indonesia yang majemuk dalam sebuah orchestra kebersamaan. “inilah puncak evolusi pemikiran saya sejak muda, berlanjut sebagai apoteker, kemudian pengusaha pabrik obat, “ kata Ketua Pendiri Yayasan Nabil itu.
Nama Yayasan Nabil (Nation Building), identik dengan Eddie Lembong, pebisnis obat yang tercatat sebagai salah satu tokoh yang terobsesi dengan kelebihan-kelebihan bangsa Indonesia.
Menekuni dunia bisnis obat yang sukses selama lebih 30 tahun, diusia senjanya, Eddie memilih menjadi penganjur paham kebangsaan modern. Ia menjadi aktivis multikulturalisme dengan gagasan penyerbukan silang antarbudaya dalam bingkai nation building Indonesia.
Menurut Eddie, keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia bisa menjadi modal untuk mengubah kehidupan rakyat Indonesia menjadi lebih baik. Etos kerja warga Tionghoa Indonesia yang ulet dan gigih, misalnya, bisa diadopsi oleh budaya lain yang tidak memiliki kebiasaan itu.
Suami Melly Saliman dengan fokus menjabarkan tentang gagasan besar mengenai penyerbukan silang antarbudaya dan eksistensi Yayasan Nabil.
Apakah gagasan pokok penyerbukan silang antarbudaya? Kesadaran bahwa budaya Indonesia masih terus perlu diperkuat dalam konteks globalisasi. Penyerbukan silang antar budaya berate memadukan semua unsure yang baik untuk menghasilkan budaya Indonesia yang makin baik. Selain upaya-upaya state building, sangatlah perlu cultural building, perbaikan budaya dan etika manusia dalam rangka nation building.
Istilah penyerbukan berkonotasi tumbuh-tumbuhan. Beliau mengatakan orang fisika tidak boleh tidak cara berpikir dan pilihan kosakata terkait kesana. Selain alamiah, penyerbukan dilakukan langkah-langkah strategis.
Disiplin sosial lemah yang disebabkan mendahulukan kepentingan banyak orang terlanjur dikesampingkan. Disiplin sosial tidak built-in, belum menyatu.
Beliau mengatakan merasa optimistis seraya juga pesimistis. Hal ini tergantung dari keberhasilan yang memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menyelenggarakan perbaikan mutu budaya Indonesia.
0 comments:
Post a Comment