separate
logo

Apr 4, 2009

meidy

Nama Tionghoa yang Bangun dari Tidur Panjang

 

Era reformasi dan angin kebebasan membuat nama-nama Tionghoa hidup kembali. Haruskah nama marga diatur agar seragam?

Banyak kejadian lucu namun tragis yang dialami generasi muda Tionghoa di Indonesia menyangkut soal nama. Akibat kebijakan asimilasi dan kondisi politik selama pemerintahan Orde Baru, nama-nama pribadi maupun marga terkikis perlahan. Dampaknya beragam, tapi paling banyak adalah mereka tidak mengenali sanak saudaranya atau bingung dengan tingkat hubungan darahnya.

"Siapa sih dia? Tante? Atau jangan-jangan seangkatan dengan saya?" Kira-kira begitu kisahnya.

Datangnya angin reformasi memberi kebebasan warga Tionghoa untuk mengekspresikan tradisi melalui nama Tionghoa. Para orangtua yang masih menghargai tradisi leluhur, begitu bersemangat memberi nama Tionghoa kepada keturunannya. Meski akhirnya statusnya cuma pelengkap.

"Ini karena kebanyakan anak dari lahir sudah diberikan nama Indonesia, meskipun nantinya banyak orang tua yang memberikan nama Tionghoa," ujar Tirtahadi Sendjaja, Wakil Ketua Umum Bidang Komunikasi Antar Marga dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI).

Tidak ada pola tetap

Di Indonesia sendiri menurut catatan PSMTI ada sekitar 100 nama marga Tionghoa yang penyebarannya merata di seluruh daerah. "Sebenarnya lebih dari itu, namun yang terdata dan pernah kami kumpulkan ya sekitar jumlah itu" jelas Tirta.

Marga-marga yang dapat terdata oleh PSMTI beberapa di antaranya adalah Qiu, Gu, Tian, Wu, Tjoo, Thong, Liu, Lay, Yap, Xie, Feng dan Yi. Semuanya rata-rata memiliki komunitas yang berdiri sendiri dan rutin mengadakan pertemuan internal. Di luar komunitas itu, PSMTI kesulitan mendapat keterangannya.

Soal penyebaran marga ini, menurut Tirta, memang tidak memiliki pola tetap. Terbukti jumlahnya begitu merata. Bisa jadi pola itu dulu pernah ada, misalnya marga Qiu pertama kali datang langsung ke Purwokerto. Nah, setelah itu mengajak serta keluarganya, hingga marga itu dominan di daerah tersebut. "Tapi ini tidak bisa dipastikan di setiap daerah," papar pria yang juga menjabat sekretaris umum Perhimpunan Suku Hakka di Indonesia ini.

Ketika pemerintahan masa silam memberlakukan kebijakan asimilasi, wajar jika kemudian terjadi kebingungan di kalangan warga Tionghoa, lantaran nama-nama warisan leluhur itu berubah menjadi nama Indonesia. Aturannya juga tidak ada, sehingga akhirnya satu marga bisa beralih menjadi dua nama Indonesia. Marga Lim misalnya berubah menjadi Halim atau Salim.

Harus percaya diri

Dengan angin kebebasan saat ini, serta menyadari lunturnya pemahaman budaya peranakan di generasi muda, sejumlah tokoh senior peranakan Tionghoa memiliki pemikiran soal marga. Pendapat mereka, nama marga bisa menjadi salah satu faktor yang dapat menyelamatkan identitas budaya. Meski banyak pihak yang kemudian mempertanyakan pemikiran ini.

Tedy Jusuf, salah satu tokoh peranakan Tionghoa, berargumen bahwa saat ini marga adalah salah satu hal yang bisa dipertahankan untuk melestarikan budaya Tionghoa. Sebab selain menjadi bagian dari identitas, marga juga masuk dalam warisan budaya Tionghoa, laiknya pakaian adat, makanan dan tradisi lainnya. Karena itu keragaman warga Tionghoa juga perlu dirawat dan dipelihara dengan baik.

"Walau banyak generasi muda keturunan Tionghoa kini yang tidak bisa bahasa Mandarin, setidaknya mereka tahu dan bisa menuliskan marganya dalam bahasa Mandarin." tutur purnawirawan TNI tersebut.

Dalam pemikiran Tedy, sesuatu bisa disebut suku bukan hanya karena ada wilayah, tetapi juga budaya dan adat istiadat. Jadi ia menginginkan warga Tionghoa juga percaya diri menyebut diri sendiri suku nasional Indonesia. Lengkap dengan segala warisan budaya, dan adat istiadatnya termasuk marga yang masih dipakai.

Tentang perubahan nama marga yang sudah terjadi, Tedy hanya bisa berharap ada suatu aturan yang bisa memperjelas. "Sehingga meskipun marga Lim berubah menjadi Salim atau Halim semuanya bisa disamaratakan. Tujuannya agar jelas generasi-generasi peranakan Tionghoa selanjutnya tidak bingung akan marganya, akan budayanya," jelasnya.

Anda siap berubah nama?.

Nama ditentukan leluhur

Nama Tionghoa biasanya terdiri atas dua hingga empat karakter dengan komposisi: nama keluarga - nama generasi - nama diri. Ketiganya bertaut dengan indah, perlambang kebanggaan, status dan doa dari orang tua.

Berbeda dengan cara penanaman barat, penanaman Tionghoa menempatkan nama keluarga di awal kalimat. Nama yang diwariskan menurut garis ayah ini menjadi tanda sejarah, sekaligus simbol penghargaan dan kebanggaan terhadap leluhur.

Dari nama ini bisa dilihat jejak generasinya. Karakter kedua dalam nama Cina menandakan urutan generasi. Dalam 1 keluarga besar, kalangan saudara yang sederajat atau setara (dalam hal urutan hubungan darah) memiliki nama generasi dengan karakter yang sama.

Walau begitu, formula ini tidak selalu dipraktikkan di kalangan Tionghoa Indonesia. Terkait soal nama generasi misalnya, beberapa tak lagi tahu menahu tentang urutan generasinya. Kalaupun ada yang tahu, ia pastilah tergabung dengan perkumpulan marga atau memiliki rekam jejak lengkap tentang leluhurnya.

Sang leluhur yang punya andil menentukan generasi ini berdasarkan sebuah puisi atau bait didalamnya. Satu puisi dapat mengandung 16 hingga 24 karakter, jadi keturunan pertama hingga selanjutnya akan dinamakan seperti yang sudah ditentukan. Pada generasi ke-17 atau 25, maka nama generasi yang akan digunakan akan kembali ke karakter pertama.

Pemberian nama diri biasanya lebih mengarah pada gender atau jenis kelamin sang anak. AnakS lelaki akan dipilihkan nama-nama yang mencerminkan kemaskulinan seperti kekuatan dan keteguhan. Sedangkan anak perempuan, namanya mengandung unsur keindahan, kelembutan atau bunga.

 

Sumber : Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia

0 comments:

Post a Comment

logo
Copyright © 2008 by Arts of Meidy's.
Original Template by Clairvo