Catatan tentang Generasi Muda Tionghoa Saat Ini
Pendahuluan
Sebagaimana dipahami bahwa kehidupan orang Tionghoa di Indonesia selalu mengikuti suasana politik Indonesia. Era pra penjajahan, penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, era Reformasi/Pasca Orde Baru. Pada dasarnya keamanan dan rasa aman orang Tionghoa mengikuti selera penguasa pada era yang bersangkutan.
Era reformasi dimana kualitas demokrasi membaik begitu cepat ternyata membawa dampak yang positif dari sudut pembangunan rasa kebangsaan. Pada era yang lalu, hampir semua yang berbau Tionghoa dilarang, bahasa mandarin, nama tiga suku dan seterusnya. Seingat saya, alasan utama pelarangan dari penguasa waktu itu adalah keresahan masyarakat. Anehnya, begitu kita masuk pada era reformasi dan semua pelarangan itu dihapuskan, masyarakat tidak ada yang resah bahkan menerima. Paling tidak, dapat diukur dari hadirnya berbagai media massa beraksara mandarin dan tidak ada keberatan mengenai hal itu.
Generasi Muda Tionghoa
Untuk saat ini, saya mendefinisikan generasi muda Tionghoa adalah mereka yang lahir setelah berdirinya Orde Baru sampai mereka yang telah remaja saat kejatuhannya. Definisi ini tentu akan lapuk dengan sendirinya dalam beberapa tahun mendatang.
Salah satu ciri utama dari generasi muda Tionghoa saat ini adalah asing dalam menggunakan istilah Tionghoa untuk percakapan sehari-hari. Istilah itu mulai digunakan kembali oleh Habibie selaku Presiden RI setelah Kerusuhan Mei itu. Mereka dibesarkan dengan istilah “WNI Keturunan”. Bagi Alexander Ferry waktu itu, yang kemudian menjadi pendiri dan koordinator Jaringan Tionghoa Muda, istilah Tionghoa itu “Jurasic banget”.
Sejauh saya ketahui, tidak ada literatur yang membahas mengenai keberadaan generasi muda Tionghoa. Satu satunya yang ada dan masih jauh dari selesai adalah penelitian dari Charlotte Setijadi untuk disertasi doktoralnya di La Trobe University (Australia) dengan tema “Negotiating Chineseness: Young Jakarta Chinese in post Soeharto Indonesia”. Dengan demikian terdapat kesulitan untuk mendapatkan referensi.
Oleh karena itu, catatan ini dimulai dari hal yang paling mudah ditemui, yaitu tampilnya sederetan artis Tionghoa dalam dunia entertainment Indonesia pasca reformasi. Hal ini berbeda dengan periode Orde Baru yang minim sekali dengan penampilan artis Tionghoa. Tersebutlah Delon, Agnes Monica, Olga Lydia, Leoni, Tina Toon, Thomas Nawilis, Roger Danuarta, VJ Daniel dan seterusnya. Sederatan artis ini mempunyai beberapa kesamaan diantaranya: mereka tidak menyangkal asal usul Ketionghoaannya dan tetap diterima oleh pasar. Pasar disini adalah sebuah pasar yang sangat besar yang terdiri dari ratusan juta orang non Tionghoa. Dengan kata lain, mereka tidak menjadi artis karena dukungan pasar orang Tionghoa.
Hal berikutnya adalah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Dalam pengamatan saya, perguruan tinggi swasta yang didominasi oleh mahasiswa Tionghoa tidak memproduksi dalam jumlah yang cukup banyak atas tokoh Tionghoa dalam pengertian sosial politik. Sungguhpun demikian terdapat Ulung Rusman [FORKOT/ FAMRED], Christine Susana Tjhin [CSIS] dan Wahyu Effendi [GANDI] yang lulus dari Universitas Tarumanagara..
Dilain pihak, perguruan tinggi negeri pada era Orde Baru terdapat kuota 10% untuk alokasi mahasiswa golongan “Keturunan”. Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan pertama sejak jatuhnya Suharto, Juwono Sudarsono, menaikkan kuota itu menjadi 15%. Kenaikan kuota itu adalah bagian dari berbagai kebijakan Pemerintah diawal reformasi seperti halnya peningkatan hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa pungutan, penghapusan penataran P4, pemberhentian penayangan film G30S/PKI dan seterusnya.
Dengan kata lain keberadaan mahasiswa Tionghoa pada perguruan tinggi negeri sangat sedikit. Namun demikian, perguruan tinggi negeri lancar dalam melahirkan tokoh-tokoh muda Tionghoa. Tersebutlah Summa Mihardja [UI], Ester Jusuf [UI], Surya Tjandra [UI], Robertus Robet [UI], Hendri Kuok [UGM], Rebeka Harsono [UGM], Kristan [UNIJA d/h IKIP Jakarta], Ponidjan [IKIP Medan], Ignatius Haryanto [UI], Susanto [UnSri], Sutta Dharmasaputra [UGM], dan seterusnya. Mereka semua dilahirkan saat perguruan tinggi negeri mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah, berbeda dengan keadaan status perguruan tinggi negeri sekarang yang mandiri dalam keuangan.
Selain kedua hal diatas, terdapat satu hal lagi yang penting untuk diperhatikan. Yaitu, mereka yang berkesempatan menyelesaikan studi S1 di luar negeri dengan biaya sendiri [bukan bea siswa]. Sejauh pengamatan saya, hampir tidak ada dari kelompok ini yang turut dalam pergerakan komunitas Tionghoa maupun berbagai aktifitas sosial kemasyarakatan atau politik. Mereka umumnya sibuk meneruskan usaha orang tuanya dibidang industri maupun perdagangan. Ataupun, menjadi eksekutif. Apabila Hadi Soesastro dan Kwik Kian Gie adalah lulusan S1 dari luar negeri (Eropa), sosok seperti itu belum saya temui sekarang. Kelompok tersebut diatas ini tidak bisa dibilang sedikit dan mau tidak mau dapat memainkan peranan tersendiri sekalipun mereka mungkin tidak menyadarinya. Potensi jenis ini sangat besar dan sudah harus dimulai dipikirkan untuk membinanya.
Disamping itu, terdapat berbagai kegiatan generasi muda Tionghoa yang lebih bersifat kebudayaan. Setelah reformasi mulai stabil, mereka baru bermunculan. Misalnya, unit kegiatan mahasiswa di Universitas Bina Nusantara bernama Bina Nusantara Mandarin Club [BNMC] dengan kegiatan utama dibidang kebudayaan, diantaranya menyelenggarakan kursus bahasa Mandarin. Menarik diperhatikan bahwa terdapat banyak mahasiswa non Tionghoa turut dalam kegiatan ini (sekitar 30%). Kepada mereka diberikan nama Tionghoa. Tahun 2007 juga ditandai dengan adanya kompetisi Barongsai Internasional , diselenggarakannya acara dengan nama “Chen Sing” oleh Indosiar , maupun Koko dan Cici Jakarta 2007.
Berbagai hal tersebut diatas tentu saja adalah sebuah penelusuran amatiran dan terburu-buru. Sama sekali bukan suatu penelitian dengan metoda ilmiah. Mungkin sekali tidak dapat dianggap mewakili keberadaan Tionghoa muda secara keseluruhan, karena mungkin banyak yang belum terpantau. Tetapi demikianlah data yang ada pada saya sekarang.
Lantas, bagaimana peran generasi muda Tionghoa saat ini. Kiranya jawaban adalah bahwa peranan dari generasi muda Tionghoa saat ini adalah harus sama dengan generasi muda Indonesia yang lain. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Itu adalah prinsip dasar dari kesetaraan.
Namun demikian, terdapat karateristik tersendiri yang membuat harus adanya sedikit penanganan tersendiri. Tekanan itu begitu hebatnya dari periode Orde Baru telah membentuk karateristik tersendiri. Berbagai karateristik “minority complex” itu sudah saatnya untuk mulai diperbaiki. Diantaranya perasaan selalu siaga dan curiga, didiskriminasi dan seterusnya. Namun demikian kewaspadaan tentunya tetap harus terjaga. Masa yang indah ini bisa berakhir.
Adalah kebijakan dimasa lalu untuk menjauhkan orang Tionghoa untuk bergabung dalam struktur pemerintahan seperti birokrasi, TNI/Polri dan seterusnya. Masa lalu telah berhasil membentuk pola pikir dikalangan Tionghoa bahwa pemerintahan bukanlah tempatnya dan tempatnya adalah bidang perekonomian. Kiranya penting untuk disampaikan bahwa sebaliknya terdapat kenyataan pada masa Orde Baru dimana terdapat banyak pengawai negeri dari kalangan Tionghoa dan beberapa diantaranya dapat menduduki jabatan sampai tingkat direktur [dibawah direktur jenderal].
Apabila dicermati lebih jauh, tidak ada yang salah kiranya apabila seseorang memilih hidupnya dibidang perekonomian. Sekalipun tidak memiliki data yang akurat, kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa orang Tionghoa berperan penting dalam membangun industri di negaranya ini. Bagaimanapun juga negara dan bangsa ini membutuhkan perekonomian yang kuat. Dan kami bangga dapat berperan besar membangun negara dalam bidang perekonomian, paling tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan dan pajak.
Penting dipahami bahwa terdapat kesetaraan dalam menentukan pilihan profesi. Menentukan pilihan profesi dibidang ekonomi kiranya setara dan sama baiknya dengan bergabung di dalam struktur pemerintahan. Satu tidak lebih baik dari yang lain.
Tahun 2007 bagi Kepolisian Indonesia tercatat sebagai tahun dimana untuk pertama kalinya terdapat seorang taruna Tionghoa diantara 300 taruna, namanya Law Kaun Kwang alias Heppy Saputra, lulusan S1 Bina Nusantara. Hal ini disampaikan sendiri oleh Wakapolri Makbul kepada Antara. Untuk melahirkan di Kwang yang lain, baik untuk dilakukan sosialisasi karier pada struktur pemerintahan di kantong kantong generasi muda Tionghoa, misalnya sekolah maupun kampus.
Organisasi Tionghoa
Terdapat berbagai organisasi dengan nuansa Tionghoa. Sebenarnya organisasi organisasi ini telah ada sebelumnya, termasuk pada jaman pra reformasi. Termasuk dalam pengertian organisasi Tionghoa adalah perkumpulan marga, rumah abu, rumah ibadah, budaya (barongsai, musik) maupun sosial kemasyarakatan, dan seterusnya.
Adanya berbagai organisasi ini pada dasarnya untuk dilihat sebagai sarana dan bukan tujuan akhir. Adalah baik apabila generasi muda Tionghoa untuk terlibat dalam berbagai kegiatan dan dipercaya oleh masyarakat yang bersifat umum ataupun non Tionghoa.
Berbagai sosok dapat dijadikan referensi atas karya yang pernah dibuatnya. Susanto, misalnya, dipercaya sebagai Ketua Umum dari Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern. Juga, Suma Mihardja adalah Ketua Dewan Koordinator Keluarga Besar Universitas Indonesia (KB-UI). Atau, M. Gatot yang terpilih menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) se Jakarta. Ulung Rusman, pendiri FORKOT dan FAMRED, kelompok mahasiswa demostran pada masa tumbangnya rejim yang lalu. Stanley dipercaya anggota Komnas HAM. Hendri Kuok sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum. Saya kira masih banyak yang lain.
Mereka semua hadir ditengah masyarakat, dan dipercaya, dengan tidak menyangkal keberadaan dirinya, ketionghoaannya.
Apabila keterlibatan seperti ini terus dilakukan dan dibudayakan, hal ini sedikit banyak akan berakibat positif. Minimal mengurangi gesekan-gesekan antar kelompok pada berbagai organisasi Tionghoa. Pemilihan ketua dari sebuah organisasi Tionghoa sudah pasti terdapat orang/kelompok Tionghoa yang saling berhadapan. Sering terdengar bahwa berbagai pertengkaran seperti itu berbuntut panjang. Dalam pengamatan saya, generasi senior Tionghoa sering terjebak dalam suasana seperti ini.
Dilain pihak, kepercayaan yang diberikan kepada sosok Tionghoa dari masyarakat non Tionghoa akan turut membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Konsentrasi, waktu dan tenaga yang dihabiskan pada berbagai kegiatan yang bersifat umum tadi akan menjadi jauh lebih efektif dan efisien ketimbang terlibat dalam pertengkaran internal. Pandangan negatif terhadap orang Tionghoa yang ditumbuh kembangkan di masa lalu dapat diatasi. Sejauh ini banyak sosok generasi muda Tionghoa, sebagaimana telah disebut diatas, sering “terjebak” dalam suasana ini.
Namun demikian, tidak berarti berbagai organisasi Tionghoa kehilangan fungsi strategisnya. Berbagai organisasi Tionghoa harus tetap eksis karena ini tetap mempunyai peran penting dalam berbagai hal, diantaranya sebagai sarana membangun komunikasi dan jaringan, koordinasi, informasi, maupun menggalang dukungan. Organisasi Tionghoa harus lebih terlibat aktif dalam “Talent Scouting” dan persemaian kader muda Tionghoa. Generasi senior harus memberikan dukungan penuh dan riil kepada generasi muda yang berbakat untuk tampil dalam pentas nasional.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa generasi muda Tionghoa harus menyadari betul adanya perubahan jaman. Era penuh ketakutan dan tekanan sudah lewat. Bagi saya, saat ini adalah periode akhir dari era transisi. Hal ini mengingat telah banyak sekali masalah Ketionghoaan sudah dibereskan sekalipun belum semua.
Oleh karena itu, perlu terdapat pola hidup baru dikalangan generasi muda Tionghoa, yaitu bagaimana menjalani hidup merdeka sebagai warga negara.
* Disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) pada tanggal 22 November 2007 bertempat di MGK, Jakarta, dengan tema “Peran Kaum Muda Tionghoa Dalam Pembangunan Bangsa”.
Sumber : Ivan Wibowo
0 comments:
Post a Comment