Aspertina - “Tok…tok…tok…tok…tok. Surep toto pitonono, Suwergine daging, rephanenggih swasono tentrem, toto hanggayuh pitono luhur, bahagyo tentrem lamun hangesti luhuring agunan…,” ucap Dalang Ki Robbi Wignya Carita setiap membuka sebuah pagelaran wayang.
Ki Robbi bukanlah dalang biasa. Mengapa? Dia merupakan salah satu dalang peranakan Tionghoa.
Ayahnya adalah The Kie Tjwan dan ibunya Lim Pong Han. Kendati berdarah Tionghoa, sejak kecil Robbi telah jatuh cinta pada wayang. Bukan orang tuanya yang memperkenalkan ia dengan wayang, melainkan pembantunya. Waktu Robbi masih kecil, sang pembantu kerap mengajaknya menonton pagelaran wayang kulit.
Itulah ihwal kecintaan Robbi pada wayang kulit. Karena cinta, sekitar 15 tahun lalu, Ki Robbi yang bernama lengkap Robbi Santoso alias The Thin Thue ini memutuskan belajar mendalang. Ia bahkan rela hijrah dari Malang, Jawa Timur, ke Solo, Jawa Tengah, demi mencapai cita-citanya. Di kota ini, ia berguru kepada Darsono, Joko Rianto, dan sejumlah dalang beken lainnya.
“Di sini saya belajar ontowocono, titi laras gending, tatakan pakeliran, sabet, dan lainnya. Sampai sekarang saya masih belajar,” ujarnya merendah, Kamis pekan lalu.
Dalam mendalang, Robbi cenderung meniru gaya almarhum Ki Nartosabdo, dalang wayang kulit legendaris asal Jawa Tengah. Kendati demikian, Robbi tetap punya ciri khas tersendiri. Di antaranya kemampuan dia menyelipkan kisah-kisah jenaka dalam bahasa China Hokian.
“Misalnya saya bilang kalau makan nasi itu bahasa Chinanya jok fan, minum air hok sue. Kalau Anda ditanya makan nasi tapi enggak minum air itu bilang saja kesereten. Kayak gitu penonton sudah pada tertawa,” ucap Robbi yang lahir di Malang, 44 tahun lalu.
Robbi rajin mempromosikan wayang kulit di komunitas peranakan Tionghoa. Di Solo, dia senantiasa mengajak sahabatnya, baik yang tengah mendirikan pabrik, acara selamatan, kawinan, atau peringatan 1.000 hari kematian untuk menggelar acara wayang.
Menurut Robbi, wayang tetap penting bukan hanya sebagai strategi pembauran etnis Tionghoa dan Jawa, tapi cerita dalam wayang juga sangat relevan dengan perilaku manusia masa kini.
“Sifat-sifat dan lakon wayang masih cocok dengan situasi sekarang. Ternyata masih ada manusia yang serakah, licik, semuanya tergambar di wayang. Teknologi boleh maju pesat, tetapi sifat manusia tetaplah sama,” katanya.
Tak hanya itu, ujar Robbi, wayang juga penting untuk melestarikan budaya. “Saya prihatin kok kebudayaan Jawa yang adiluhung, ternyata sekarang makin tersingkirkan. Orang-orang Jawa bahasa Jawanya sudah mulai hilang semua. Padahal ciri suatu bangsa kan karena bahasanya. Dibilang Jawa kalau berbahasa Jawa,” ujar pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang onderdil sepeda motor di Solo ini.
Akulturasi
Peneliti wayang China-Jawa dari Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti menilai keterlibatan aktif peranakan China jadi dalang merupakan bentuk akulturasi dan memperkaya budaya Nusantara. Menurut Dwi, selain Robbi, dalang sepuh peranakan China yang juga unik adalah Widayat Djiang yang menambahkan unsur kungfu di dalam cerita wayangnya.
Ketika dikonfirmasi, Widayat Djiang alias Tjioe Bian Djiang mengaku mendapat inspirasi menambahkan unsur kungfu setiap kali mementaskan wayang. “Saya mendalang sejak umur 12 sampai sekarang 72 tahun. Penemuannya itu baru 10 tahun lalu,” kata Widayat yang mengaku memasukkan jurus-jurus kungfu karena suka film kungfu, khususnya film Bruce Lee.
“Di wayang saya buat koprol-koprol, jungkir balik mirip kungfu. Kita juga pakai drum seperti alat tabuhan ala Tionghoa. Jadi seolah-olah gerakannya seperti kungfu," kata Widayat.
Selain Robbi dan Widayat, dalang peranakan lainnya berasal dari Pemalang adalah Mangun Yuwono alias Tiongho Go Kim Yang. Darah Tionghoa Mangun (31) berasal dari ibunya, Yusaini alias Jo Sin Cu. Dari garis keturunan ayah, Mangun bisa dibilang memang penjaga tradisi wayang. “Dari kakek moyang sampai ayah saya, semuanya dalang. Saya generasi ke-10,” ucapnya bangga.
Dalam mendalang Mangun mengaku menyesuaikan dengan ritme warga Pantai Utara (Pantura). “Dalam pertunjukan saya tidak pernah bertele-tele karena khas orang Pantura itu blak-blakan, banyak gerak dan sabet,” tutur Mangun yang saat belajar dalang di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo, pernah diceletuki seorang guru, “Lha iki Cino opo biso ndalang (ini kan China, apa bisa ndalang).” Gara-gara celetukan itu Mangun merasa tertantang dan ingin membuktikan keraguan sang guru.
Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI), Ekotjipto mengaku mendukung perkembangan dalang peranakan. “Banyak etnis Tionghoa yang cinta budaya Jawa, bahkan kalau di wayang orang ada banyak orang Tionghoa yang mendalami masalah tari,” katanya.
Wayang hanyalah salah satu sarana kesenian yang ditempuh etnis Tionghoa untuk berakulturasi dengan budaya lokal. Kesenian lain yang menjadi sarana akulturasi warga keturunan adalah musik gambang kromong dan drama lenong yang amat populer di kalangan orang China Benteng di Jakarta pinggiran.
"Musik gambang kromong yang bertempo lambat amat disukai orang-orang tua karena tidak banyak menguras tenaga ketika ditarikan. Liriknya pun cenderung ringan dan jenaka sehingga sering mengundang senyum," kata Ikke Sarkim (40), putri bungsu legenda lenong di daerah Serpong, Sarkim (Liem Kim Siong), yang kini meneruskan usaha ayahnya yang berdiri sejak 1962.
Sumber : Aspertina