Pengantar
Orang Dayak memanggilnya “sobat” (sahabat), mereka memanggil Orang Dayak
“darat”, kadang-kadang dipanggilnya juga dengan sebutan laci. Laci artinya anak
keturunan. La = anak, Ci = orang atau keturunan. Anak hasil perkawinan Dayak
dengan Cina disebut Pantokng dan sebaliknya anak hasil perkawinan Cina dengan
Dayak dikenal sebagai Pantongla.
Tulisan ini hanya memotret singkat dalam konteks sejarah, bagaimana relasi Dayak
dan Cina yang hampir sempurna, khususnya kenapa Orang Dayak memanggil Orang Cina
“sobat”, sebuah tata nilai budaya yang sedemikian sempurna, sebagai perwujudan
dari nilai-nilai hidup yang dijaga dan dikembangkan selama ini.
Cina Dalam Dayak; Potret Inkulturasinya
Kata La Ci seringkali diplesetkan orang luar untuk mempengaruhi relasi Dayak
dengan Cina. Menurut Acui (2005), merujuk pada kata La Ci, mungkin mereka
mengakui secara “implisit” bahwa Dayak adalah keturunan dari kelompok imigran
yang telah datang masa 3000-1500 Sebelum Masehi. Panggilan “sobat” Orang Dayak
kepada Orang Cina diatas bukanlah tanpa alas an. Dalam tradisi yang sangat
sakral, misalnya dalam mitologi religiousnya, seorang tokoh Cina merupakan salah
satu tokoh penting yang sangat dihormati bahkan diakui sebagai leluhur Orang
Dayak. Disebutkan, ada 5 orang tokoh, yang mencipta adat: Ne Unte’ Pamuka’
Kalimantatn, Ne Bancina ka Tanyukng Bunga, Ne Sali ka Sabakal, Ne Onton ka
Babao, dan Ne Sarukng ka Sampuro. Menurut pengakuan Singa Ajan (94 tahun,
seorang Singa/Timanggong, tinggal di kampong Rees-Menjalin-Landak), Ne Bancina
adalah leluhur Orang Cina, beliau tinggal di sebuah tanjung, yang bernama
tanjung bunga, daerah pasir panjang-Singkawang sekarang ini.
Sebagaimana sejarahnya, Dayak adalah merupakan keturunan Bangsa Weddoid dan
Negrito (Coomans,1987). Orang Negrito dan Weddoid telah ada di Kalimantan sejak
tahun 8.000 SM. Mereka tinggal didalam gua dan mata pencaharian mereka berburu
binatang. Kelompok ini menggunakan batu sebagai alat berburu dan meramu. Warisan
Weddoide yang masih bertahan hingga hari ini dan melekat pada sebagian kecil
Orang Dayak adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban
pada jubata (Tuhan). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang
liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi
kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu. Namun, kelompok ini
sekarang telah lenyap sama sekali, setelah kedatangan imigran baru yang dikenal
sebagai Bangsa Proto Melayu atau Melayu Tua (Wojowasito, 1957). Proto Melayu
merupakan imigran kedua yang datang sekitar tahun 3000-1500 SM. Menurut Asmah
Haji Omar http://www.amazon.co.uk), peradaban kelompok ini lebih baik dari
Negrito, mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, membuat barang pecah
belah dan alat-alat perhiasan. Gorys Keraf (1984) mengatakan bahwa, kelompok
imigran ini juga telah mengenal logam, sehingga alat perburuan dan pertanian
sudah menggunakan besi.
Emas merupakan penyebab terjadinya salah satu migrasi utama Orang Cina ke Kalbar
pada akhir abad ke-18 (Jackson,1970). Dari catatan sejarah, tahun 1745, 20 orang
Cina didatangkan dari Brunei oleh Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah untuk
bekerja pada pertambangan emas, utamanya di Mandor (wilayah Mempawah) dan di
Monterado (Sambas). Hasil emas mencapai puncaknya antara tahun 1790 dan 1820.
Pada tahun 1810, produksi emas dari Kalbar melebihi 350.000 troy ons, dengan
nilai lebih dari 3,7 juta dollar Spanyol (Raffles, 1817). Keberhasilan
pertambangan emas ini, menyebabkan Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah terus
mendatangkan Orang Cina, hingga pada tahun 1770 orang Cina sudah mencapai 20.000
orang. Menghindari perkelahian sesama perantauan setali sedarah, Lo Fong Fak,
pimpinan sebuah kongsi di Mandor menyatukan 14 kongsi yang tersebar dan
mendirikan sebuah pemerintahan “republic” Lan Fang pada tahun 1777. Republic ini
berkuasa selama 108 tahun, 1777 - 1884. Pada masa Presiden Lan Fang ke-10,
Presiden Liu Konsin yang berkuasa sejak 1845-1848, Republik ini pernah melakukan
pertempuran dengan Orang Dayak didaerah Mandor, Lamoanak, Lumut, dan sekitarnya,
hasilnya Orang Dayak kalah dan sebagian kecil memilih bermigrasi kehilir Sungai
Mandor, hingga akhirnya membentuk pemukiman diwilayah Kesultanan Pontianak.
Mereka inilah yang menjadi leluhur Orang Dayak di Sei Ambawang. Perang ini
dikenal sebagai “Perang Lamoanak”.
Sebagaimana bangsa lainnya, Orang Dayak sudah mengenal tradisi pertanian sebagai
mata pencaharian. Dalam mitologinya, sebelum padi dikenal, mereka meramu dan
mengumpulkan sagu liar (eugeissona utilis). Sagu liar ini banyak tumbuh
ditanah-tanah lembab, dikenal dengan nama rawa-rawa. Mereka mengambil pati dari
sagu ini, lalu memelihara tumbuhan sagu, seperti sekarang dilakukan oleh orang
Ambawang, Kubu Raya. Untuk mencampur sagu ini, mereka juga mengumpulkan dan
memetik “kulat karakng” (sejenis jamur) sebagai makanan pokok kedua.
Karena hasil emas mulai berkurang pada tahun 1820-an dan terus menurun dalam dua
dasawarsa berikutnya semakin banyak orang Cina diwilayah Republik Lan Fang yang
beralih keperdagangan dan pertanian dengan menanam padi, sayuran dan beternak
babi. Hal ini sesuai dengan penelitian Jessup, bahwa tradisi pertanian,
khususnya tanaman padi Orang Dayak setidaknya telah dilakukan sejak tahun
1820-an (Jessup, 1981) . Tanaman padi mungkin dibawa oleh imigran Cina ini
(Bellwodd;1985). Bellwodd mencatat, padi liar dan padi-padian lain telah
dibudidayakan dipunggung Daerah Aliran Sungai Yangtze yaitu dilahan-lahan basah
musiman disebelah selatan Propinsi Kwang Tung, Fuk Chian, Yun Nan dan Kwang Sie.
Hal ini cocok dengan sebuah tulisan (Asali;2005;3), yang menjelaskan bahwa
imigran Cina yang datang ke Kalbar umumnya dari bagian selatan China, khususnya
dari Propinsi Kwang Tung, Fuk Chian, Yun Nan, dan Kwang Sie. Orang Dayak
kemudian berubah dari masyarakat pengumpul sagu liar menjadi masyarakat yang
aktiv menanam padi (Ave, J.B., King, V.T, 1986) dan menyelenggarakan siklus
pertanian yang sarat ritual (Atok;2003;19). Padi pertama yang ditanam dikenal
dengan nama padi antamu’. Oleh Petani Dayak, hingga sekarang jenis padi ini
selalu ditanam, istilahnya “Ngidupatn Banih” (melestarikan benih). Jika merunut
sejarah tanaman padi ini, tidaklah mengherankan kalau dalam prosesi perladangan
Dayak, dalam siklus tertentu dan keadaan tertentu pula, nyaris mengikuti
kalender Cina. Penanggalan Cina amat berpengaruh dalam tradisi perladangan
Dayak, hingga hari ini.
Pola pertanian dilahan basah, diyakini juga sebagai warisan Orang Cina di
Kalimantan Barat. orang Dayak mengenalnya dengan istilah Papuk/ Gente’/Bancah
(sawah). Budaya pertanian ini dibawa kelompok migrasi terakhir dari Propinsi Yun
Nan terjadi tahun 1921-1929, ketika di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara.
Saat ini, diberbagai tempat kita masih menjumpai nama sawah berasal dari kata
Cina. Di Kampung Nangka, 102 Km dari Pontianak, kita dengan mudah mendapatkan
nama tempat berasal dari Cina; Ju Tet, Kubita, Pahui, dll. Ini sekaligus bukti,
bahwa pencetakan sawah awalnya diperkenalkan mereka. Latar belakang kelompok
imigran baru ini memang kebanyakan petani Orang Hakka.
Selain itu, sejak tahun 1880, orang Cina juga mulai membuka perkebunan lada,
gambir dan setelah tahun 1910 memulai perkebunan karet (Hevea
brasiliensis;Euphorbiaceae) (lihat Dove,R.Michael;1988) . Acong (70 tahun),
warga Sei Nyirih Selakau-Sambas, menceritakan pada saya bahwa pernah ada sebuah
perusahaan besar “KAHIN”, milik Tjiap Sin. Perusahaan ini berdagang gambir,
cengkeh, kopra dan lada, dijualnya ke Singapura. Ia memiliki kapal layar besar.
Untuk ke Singapura, mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 3 hari dari Selakau.
Seiring menipisnya hasil Gambir, Cengkeh, Lada dan Kopra, pada tahun 1958,
perusahaan ini tutup.
Pembauran Orang Dayak dengan Orang Cina yang terjadi sejak berabad-abad silam,
menurunkan perilaku kebudayaan unik, khususnya peralatan adat istiadat dan hokum
adat dalam budaya Dayak. Hari ini, masih dapat kita lihat dari alat-alat peraga
adat (dan hukum adat) yang menggunakan keramik-keramik Cina. Pengaruh ini
mungkin hasil dari perdagangan dan hubungan diplomasi mereka dengan bangsa Cina
yang sempat tercatat dalam sejarah dinasti Cina dari abad ke-7 sampai abad
ke-16. Pedagang Cina menukar keramik, guci anggur dan uang logam dengan
hasil-hasil hutan yang dikumpulkan Orang Dayak seperti kayu gaharu, gading
burung rangok (enggang), serta sarang burung walet. Pedagang dari Siam juga
membawa guci-guci yang terbuat dari batu yang masih banyak digunaan Orang Dayak
untuk mas kawin dan untuk upacara penguburan (Fridolin Ukur;1992).
Uniknya, pada peristiwa “demonstrasi” yang berlangsung sekitar 2 bulan, dari
Oktober hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke
Orde Baru, Orang Dayak menyebarkan ”Mangkok Merah” sebagai media komunikasinya,
untuk ”penghukuman sosial” terhadap Cina dipedalaman yang ditengarai berafiliasi
dengan gerombolan PGRS/Paraku yang berideologi komunis. Ratusan ribu Orang Cina
harus rela meninggalkan kampung-kampung dipedalaman, dimana sejak ratusan tahun
mereka telah berinteraksi positif dengan Orang Dayak.
Tidak cuma itu, istilah keseharian dalam bahasa Cina dengan mudah kita temui
dikalangan Orang Dayak. Di Kampung Rees, misalnya hampir semua proses pesta
(baik pesta padi, perkawinan, sunatan, dll) istilah-istilah ini muncul. Dari
menentukan waktu pesta (penanggalan Cina; ari segol, dll), nama tempat (tapsong,
teosong,dll), nama alat (ten, teokang, dll), jenis masakan (saunyuk, tunyuk,
dll) hingga prosesi makan (concok). Bahkan,alat-alat pesta maupun alat peraga
adat (dan hokum adat) juga menggunakan prototive yang berasal dari Cina,
misalnya; tempayan (tapayatn jampa, siam, manyanyi, batu, dll), mangkuk
(mangkok), piring (pingatn), sendok (teokang), nampan (pahar), dll.
Dalam tradisi minuman, Cina dalam Dayak juga dapat kita lihat dari tradisi
minuman keras, khususnya jenis arak. Sebelumnya Orang Dayak hanya mengenal tuak,
yang terbuat dari saripati tanaman aren. Di Cina, minum arak sudah menjadi
budaya yang tak terpisahkan. Oleh karena itu kita mengenal dewa mabuk dalam
cerita-cerita kungfu. Arak, selain untuk meramu obat tradisional Cina, yang
dikenal sebagai “tajok/pujok” oleh Orang Dayak juga sebagai bahan penyedap.
Kini, arak telah menjadi bagian sehari-hari bagi kehidupan Orang Dayak.
Tak cuma itu, Cina dalam Dayak juga dapat dilihat dari persenjataan, khususnya
pembuatan senjata api “senjata lantak” sebagai alat berburu dari Orang Cina.
Bubuk mesiu ditemukan oleh ahli ahli kimia Cina pada abad ke-9 ketika sedang
mencoba membuat ramuan kehidupan abadi. Bubuk mesiu ini dibawa tentara Cina yang
menetap di Kalimantan setelah tujuan mereka menghukum Raja Kertanegara. Banyak
bukti bahwa penggunaannya dengan belerang banyak dipakai sebagai obat (Wayne
Cocroft; 2000). Sebelum mengenal senjata lantak dan mesiu, senjata untuk berburu
dikalangan Orang Dayak masih berupa tombak dan sumpit. Tidak cuma itu, “judi”
juga diperkenalkan kelompok etnik ini kepada Orang Dayak. Beragam jenis judi;
Liong Fu, Te Fo, Kolok-Kolok, Sung Fu, dan lain-lain sangat digemari Orang Dayak
hingga hari ini. Disetiap pesta, keramaian, warung/toko, dengan mudah ita
menjumpai jenis-jenis permainan judi ini.
Dan bahkan, kegigihan Orang Cina dalam politik juga menjadi inspirasi bagi Orang
Dayak. Sejak tahun 1941, mereka mulai mengembangkan diri dalam perjuangan
politik. Sebagaimana diketahui, umumya kelompok Cina di Kalimantan Barat berasal
dari Orang Hakka yang sangat terkenal keuletannya.Orang Hakka lebih
independent-minded (berpikiran bebas), lebih mudah melepaskan diri dari tradisi
dan menangkap idea baru untuk hidup. Tidak heran, orang Hakka adalah termasuk
orang tionghoa yang cepat mengadopsi ide-ide Barat dibanding dengan yang lain
dan mengkombinasikannya dengan budaya Hakka. Dan tekanan kepahitan hidup yang
mereka rasakan menjadikan mereka lebih mudah menjadi kaum revolusioner, lebih
progresif, dan lebih berani maju untuk menuntut pembaharuan, dan banyak
pelopor-pelopor pembaharuan Cina modern berasal dari Hakka. Fleksibilitas orang
Hakka dalam menyerap ide-ide baru, tidak bersikeras untuk mempertahankan tradisi
lama yang menghambat, menjadikan Hakka sebagai etnis yang unik dalam sejarah
China modern. Bukan kebetulan, kalau pemberontakan terbesar di China pada abad
ke-19 yang melibatkan puluhan juta manusia, dan termasuk pemberontakan paling
berdarah dalam sejarah kemanusiaan didunia, dimotori oleh orang Hakka. Literasi
sejarah inilah yang kemudian disambung Orang Hakka di Kalimantan Barat dengan
mendirikan sebuah Negara “republic” Lan Fang tahun 1777-1884. Selama Kolonial
Belanda, republic ini pernah 2 kali berperang dengan Belanda, yakni tahun
1854-1856 dan tahun 1914-1916. Perang itu dinamakan “Perang Kenceng” oleh
masyarakat Kalbar.
Sikap revolusioner Orang Cina juga muncul ketika Jepang menduduki Pontianak
tahun 1941. Sekelompok Cina mendirikan organisasi bawah tanah dan menyiapkan
diri untuk perang terbuka, namun niat ini menjadi hilang ketika hadir ”tragedi
mandor”, sebuah pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor, bekas ibukota Republik
Lan Fang. Orang Cina kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas dan
mampu secara ekonomi. Dan karena sikap yang cenderung bersahabat dengan Orang
Dayak, melalui Partai Persatuan Daya (PD), membuat sebagian elit Orang Cina yang
lolos dari ”penyungkupan” berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya, dan pada
pemilu 1955 dan pemilu 1958, kelompok ini menang. Hal ini kemudian mengantarkan
JC.Oevaang Oeray, tokoh Dayak asal Hulu Kapuas menjadi Gubernur Kalimantan Barat
dan berhasil menempatkan dirinya sebagai refresentasi kelompok etnik yang
berkuasa selama delapan (8) tahun. Dipergantian rezim Orde Lama ke rezim Orde
Baru, hubungan Cina-Dayak terganggu dengan munculnya peristiwa “demonstrasi”,
persahabatan sirna dan akibatnya puluhan ribu orang Cina harus rela “keluar”
dari teritori Dayak dan mengkonsentrasikan diri di kawasan pesisir, yang selama
ini menjadi teritori “Melayu”. Empat puluh satu tahun (41 tahun) terabaikan,
dipenghujung tahun 2007, konsolidasi politik Orang Cina dan Orang Dayak
menemukan klimaksnya, mereka kembali menempatkan dirinya sebagai refresentasi
kelompok etnik yang berkuasa di Kalimantan Barat.
Penutup
Jika merujuk pada fakta budaya pada kelompok etnik Dayak Mampawah diatas, bagi
saya, kemungkinan besar budaya Dayak sekarang ini merupakan hasil inkulturasi
budaya Cina, walaupun kenyataannya menjadi budaya yang diakui sebagai tradisi
Dayak. Mungkin saja, contoh diatas hanyalah contoh kecil dari inkulturasi Cina
dalam Dayak. Saya memahami bahwa kebudayaan itu selalu bersifat dinamis, namun
fakta bahwa tatanan social dan tradisi Dayak telah berinkulturasi secara tajam
dan dalam dengan budaya Cina. Cina benar-benar telah masuk dalam diri Dayak,
diberbagai bidang kehidupan, hingga hari ini.
________________
Tulisan ini disampaikan pada Kongres Kebudayaan Kalimantan Barat, Pontianak,
25-27 Agustus 2008. Penulis adalah Ketua Palma Institute, mahasiswa Magister
Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak.
Sumber : http://www.akademidayak.com